Judul Buku: Lukisan Kaligrafi
Penulis: A. Mustofa Bisri
Penerbit: Kompas
Tahun Terbit: Cetakan keempat 2017
Tebal: 144 halaman
Peresensi: Bintu Assyatthie
Asik, menarik, dan penuh makna, begitulah kesan yang saya rasakan saat selesai membaca kumpulan cerpen yang ditulis oleh A. Mustofa Bisri atau yang akran dipanggil Gus Mus ini. Buku Lukisan Kaligrafi memuat lima belas cerita pendek (cerpen) yang sebagian pernah dimuat di media, seperti Kompas, Suara Merdeka, Media Indonesia, dan Jawa Pos. Cerpen-cerpen ini ditulis kisaran tahun 2002 sampai 2003. Meskipun demikian, pesan yang terkandung dalamnya masih relevan dengan kondisi zaman saat ini dan—mungkin juga—yang akan datang. Misalnya seperti pada halaman 103 berikut:“.... Di mana saja ada pengajian, di kota kecamatan ataupun di desa-desa, dia pasti mendengar dan datang menghadirinya. Aku tak tahu apa saja yang diperolehnya dari pengajian-pengajian yang begitu rajin ia ikuti itu. Nyatanya kelakuannya seperti kebanyakan warga kampung yang lain, dari dulu tidak berubah. Kesukaannya menggunjing orang ya tidak berkurang. Hobinya bohong juga berlanjut. Kesenangannya pada duit malah bertambah-tambah....”
Lima belas cerpen yang termuat dalam buku Lukisan Kaligrafi, umumnya bercerita tentang dunia pesantren berikut dengan tokoh-tokohnya, misalnya pada cerpen pertama berjudul Gus Jakfar. Cerita tentang seorang putra kiai yang memiliki keistimewaan dan ketenaran dari pada saudara-saudaranya yang lain. Keistimewaan itu ialah dapat membaca tanda-tanda yang ada pada seseorang. Namun, pribadi Gus Jakfar, putra kiai itu, berubah setelah menghilang selama berminggu-minggu. Perubahan sikapnya terjadi setelah bertemu dengan Kiai Tawakkal, yang di kalangannya lebih dikenal dengan sebutan Mbah Jogo. Gus Jakfar mendapatkan sebuah wejangan bahwa cobaan terberat orang yang memiliki kemampuan dan kelebihan adalah takabur. Dari pertemuan itu, Gus Jakfar memilih tidak lagi menampakkan kelebihan yang dimiliki.
Dilanjutkan dengan cerpen kedua berjudul Gus Muslih. Ia adalah sosok kiai yang cerdas dan kritis dalam melihat realitas. Karena sikap cerdas dan kritis itulah kemudian ia kurang disukai oleh sebagian kelompok masyarakat di sekitarnya. Apalagi saat diketahui Gus Muslih memelihara anjing, yang sebenarnya ia ambil di tengah jalan dalam keadaan basah kuyup dan terluka tubuhnya. Dalam cerita ini, Penulis menyiratkan sebuah pesan bahwa posisi manusia sebagai khalifah bertugas memimpin dan menebar cinta kasih kepada seluruh makhluk hidup di muka bumi ini, termasuk hewan.
Cerpen berikutnya Amplop Abu-abu. Di dalamnya berkisah tentang kiai dengan profesinya sebagai mubalig. Setiap kali ceramah selalu mendapatkan banyak amplop yang berisi sejumlah uang. Namun, dari sekian banyak amplop yang diperoleh, ada satu amplop misterus berwarna abu-abu. Dari lima pengajian yang diisi, ada lima amplop abu-abu yang yang terkumpul dan jumlah uangnya sama. Uniknya dari empat amplop ada pesan-pesan tertentu yang ditujukan khusus kepada si mubalig lengkap dengan tanggal, bulan, dan tahun amplop itu diberikan. Salah satunya pesannya, “Setelah Anda menasihati orang lain, sudahkah Anda menasihati diri Anda sendiri?” Di amplop yang kelima, baru sang kiai tahu siapa pemberinya, karena di dalamnya tertera nama dan tanda tangan; Hamba Allah, Khidir.
Namun, buku ini juga menghadirkan cerita lain misalnya pada cerpen berjudul Bidadari Itu Dibawa Jibril memuat kisah tentang sosok muslimah yang taat dan akhirnya keluar dari Islam. Kemudian cerpen Ning Ummi, yaitu perempuan cantik dan cerdas serta menjadi kebanggaan di lingkungan pesantren yang ending ceritanya kawin dengan kiai tua dan dijadikan istri keempat. Judul cerpen Iseng, penulisnya berberita tentang bertemunya sosok pria yang menaruh kagum cukup besar pada seorang wanita. Namun mereka terpisah sudah tiga puluh tahun lamanya. Dalam satu acara yang sama-sama hadir sebagai penceramah, si pria dibuat terkejut dengan perubahan fisik wanita yang awalnya begitu dikagumi. Saya pribadi kurang tahu, kenapa penulis memilih kata Iseng sebagai judul cerpennya.
Selanjutnya, Lebaran Tinggal Satu Hari Lagi. Gus Mus menghadirkan cerita tentang kegundahan hati seorang istri saat menunggu suaminya pulang merantau. Cerpen Lukisan Kaligrafi yang dijadikan judul utama dalam buku ini, menurut saya adalah ruh dari cerpen-cerpen yang lain. Kang Amin adalah judul cerpen dengan kisah pengabdian seorang ndalem keluarga Kiai Nur. Dari pergulatan cinta kepada anak sang kiai yang tak terwujud, akhirnya ia menikah dengan Nyai Jamilah, mengganti posisi Kiai Nur yang sudah meninggal. Beda dengan cerpen Kang Kasanun, sosok yang dikagumi karena memiliki ilmu halimunan atau ilmu agar bisa menghilang.
Tak kalah menariknya cerpen Ndara Mat Amit, yaitu seorang penyamar untuk menutupi status dirinya di kalangan masyarakat. Ia tampil seperti orang gila, tetapi kemudian kedok itu terungkap oleh sosok penyamar juga yang bernama Kang Min. Sedangkan cerpen Mbah Sidiq mengungkap tentang penyesalan Nasrul kepada Mbah Sidiq yang awalnya dikagumi sebagai sosok hebat dengan keistimewaan tertentu. Mubalig Kondang adalah sebuah kritik pada orang-orang yang suka datang ke pengajian, tetapi seolah terbentang jarak antara isi pengajian dengan perilaku hidup sehari-harinya. Ngelmu Sigar Raga berkisah tentang seorang wakil rakyat yang sukses, tetapi justru seperti kehilangan ruang di rumahnya sendiri. Cerpen terakhir adalah Mbok Yem, kisah cinta kakek-nenek, berlatar di tanah suci, karena sedang melaksanakan ibadah haji.
Cerpen dengan nuansa religi yang tinggi dan beberapa di antaranya berlatar pesantren, memberikan daya pikat tersendiri. Tidak hanya karena temanya yang menarik, tetapi alur ceritanya disajikan dengan sangat apik dan menggelitik. Beberapa konflik di dalamnya mengaduk-aduk pikiran dan emosi pembaca. Apa yang saya tulis di atas hanyalah gambaran singkat yang saya tangkap dari semua cerpen di buku ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar