Judul: Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi
Pengarang: Yusi Avianto Pareanom
Halaman: 450
Cetakan: Ketiga, Oktober 2020
Penerbit: Banana
Genre: Fiksi
Nama Peresensi: Aida Mudjib
“Kalau memang mereka tak menghormatimu, aku akan memutuskan hubungan dengan mereka. Orang yang merasa lebih suci daripada yang lainnya bukanlah temanku.” (Bandempo, hlm. 153)
***
Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto adalah dongeng kontemporer yang mengundang gelak tawa dan getir dalam satu waktu. Novel ini berkisah tentang petualangan Sungu Lembu, pemuda yang berasal dari Banjaran Waru, daerah di pinggiran kerajaan Gilingwesi. Ia hidup untuk membalas dendam pada Watugunung, penguasa Gilingwesi. Gilingwesi telah menyerang Banjaran Waru dan prajuritnya menangkap paman sekaligus guru Sungu Lembu, Banyak Wetan.
Sungu Lembu mengawali kisahnya dengan insiden pasca pencurian sapi, setelah itu ia mundur untuk menceritakan bagaimana awal pertemuannya dengan Raden Mandasia. Mulai dari bagaimana ia bisa sampai di Rumah Dadu Nyai Manggis. Yang artinya flashback lebih jauh, mulai dari riwayat hidupnya di Banjaran Waru bersama gurunya yang bijak.
“Setahuku beberapa raja malah tak menyandang keris sama sekali.”
“Raja jenis apa?”
“Raja yang mau lengser dan menjadi pandita.”
“Kamu tahu kenapa?”
“Bosan jadi raja mungkin.”
Banyak Wetan tertawa. Ia menonyorku lagi. Ia sering melakukannya justru ketika hatinya riang.
“Maksudku, kenapa ia tak membawa keris?”
“Biar duduknya enak mungkin.”
Banyak Wetan tertawa lebih keras lagi. “Ia kadang tak perlu senjata dalam pengertian sesungguhnya. Musuhnya sangat dekat, ada dalam dirinya, hawa nafsunya sendiri.” (hlm. 84)
Sungu lembu blak-blakan, humoris juga punya bakat istimewa: ingatan lidah. Sekali mencicipi masakan, ia bisa tahu semua rempah yang ada di dalamnya. Belakangan, bakatnya ini berguna untuk membawanya dan Raden Mandasia ke Gerbang Agung.
Ketika Sungu berhasil memasuki Kotaraja Gilingwesi, ia terlalu terpukau oleh betapa majunya kota itu hingga merasa ambisinya membunuh raja adalah suatu kekonyolan. Sampai Sungu Lembu terdampar di Rumah Dadu Nyai Manggis, di sana ia bertemu dengan Raden Mandasia, salah satu pangeran Gilingwesi yang berkarakter menarik.
Raden Mandasia memilih untuk bepergian dan melakukan beberapa pembangkangan, seperti mencuri sapi, daripada terkungkung dalam Kotaraja. Setelah mencuri sapi, ia lalu memotong-motongnya dengan keahlian tinggi sebelum memanggang dan memakannya dengan kegembiraan yang luar biasa. Raden Mandasia tengah menjalankan misi untuk menyelamatkan kerajaan Gilingwesi dari pertempuran Gerbang Agung yang dianggap sia-sia
Sungu pada akhirnya mengikuti Raden Mandasia menempuh perjalanan menuju Gerbang Agung untuk menemui Sang Permata Gerbang Agung, Putri Tabassum demi menyelamatkan kerajaan Gilingwesi. Sungu tahu bahwa keputusan tersebut tidak termasuk pada susunan rencananya, namun siapa tahu dengan mengikuti Raden Mandasia dia akan berhasil mendekat pada Raja sehingga pembalasan dendam kesumatnya bisa terlaksana.
Sepanjang perjalanan menuju Gerbang Agung, banyak peristiwa yang Sungu dan Mandasia alami; termasuk hal-hal yang tidak biasa. Cerita bagaimana Sungu Lembu dan Raden Mandasia terlibat insiden gara-gara kegemaran Raden Mandasia mencuri sapi dieksekusi dengan apik. Belum lagi pengalaman mereka berlayar yang membuat terbahak-bahak.
“Yang paling jago memancing adalah Wimba, nakhoda kami. Pernah ia menangkap ikan golok hanya dengan umpan sobekan karung beras. Itu keterlaluan anjingnya karena aku sudah mencoba berhari-hari dengan berbagai umpan binatang laut kecil dan tak menghasilkan apa-apa… Jangankan jadi awak kapal yang andal, sebagai penumpang saja aku belum cakap.” (hlm. 221)
Namun Mandasia lebih sial.
“Suatu hari, Raden Mandasia mencuci pakaiannya dengan cara menonda atau mengikat pakaian dengan tali kecil dan dicemplungkan ke laut. ...Setelah sekitar sepenanakan nasi, Raden Mandasia mengangkat pakaiannya. Wajahnya memerah melihat ada benda kuning lembek menjijikkan yang menempel di sana. Ternyata, tak lama setelah ia menonda, Jongkeng malah berhajat besar di bagian kiri depan kapal tanpa tahu ada pakaian pangeran agung sedang ditonda di belakang. (hlm. 227)
Banyak yang bilang gaya bercerita seseorang bisa tercermin dari karyanya, dari sentuhannya. Yusi Avianto kemudian menjadi editor novel Kura-kura Berjanggut yang berselang terbit dua tahun sesudah Mandasia. Persamaan dua novel ini sangat terasa. Detail memikat, beraneka karakter memesona dan makiannya tak terkira. Sungu Lembu gemar berekspresi dengan kata “Anjing!" namun umpatannya sering terasa lucu bukan tak sopan.
Lalu bagaimana akhir kisah Sungu Lembu dan Raden Mandasia? Gagalkah mereka menyelamatkan Gilingwesi sekaligus membalas dendam?
Yang jelas, menurut saya, Sungu Lembu tidak gagal menemukan teman dan kenangan.
“Semakin banyak aku mencoba mencari tahu tentang Raden Mandasia, semakin gelap saja rasanya. Mataku membasah. Raden Mandasia adalah hal paling dekat yang bisa kusebut sebagai teman dan kami ternyata saling mengenal sedikit saja.” (hlm. 412)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar