Judul Buku: Hati Suhita
Pengarang: Khilma Anis
Penerbit: Telaga Aksara
Tahun Terbit: Mei, 2019
Jumlah Halaman: 404 Halaman
Genre: Fiksi, Sastra Pesantren
Peresensi: Sarifah Mudaim
Sebenarnya saya sudah lama sekali penasaran dengan novel Hati Suhita. Bagaimana tidak, novel tulisan karya Khilma Anis selalu bisa menghipnotis pembacanya di dunia sastra pesantren. Novel Hati Suhita berawal dari tulisan-tulisan yang diterbitkan secara bagian-bagian di dinding halaman media sosial facebook pribadinya. Novel karya Khilma Anis yang pertama kali saya baca adalah "Jadilah Purnamaku, Ning", setelah membaca novel tersebut saya menyebut diri daya sebagai penggemar penulisnya yang akrab disapa Ning Khilma, sejak saat itu saya selalu menanti-nanti karya selanjutnya, termasuk novel Hati Suhita. Rasa penasaran saya semakin menggila ketika Hati Suhita diresensi oleh Nabilah Munsyarihah di website Perempuan Membaca tahun 2020 berhasil meraih ranking pertama, resensi yang paling banyak dibaca.
Rasa penasaran saya terobati setelah membaca Novel Hati Suhita yang kurang lebih sudah terjual 80 ribu eksempelar, novel ini bercerita tentang cerita cinta segitiga, perjodohan, kesabaran hati yang paripurna.
"Aku tak boleh tenggelam dalam nestapa sebab namaku adalah Suhita. Dewi Suhita, yang membuat Candi Sukuh dan Candi Ceta di lereng Gunung Lawu. Aku, yang mewarisi namanya, tak perlu membuat tempat pemujaan dan punden berundak di lereng gunung. Aku hanya harus belajar pada ketabahan Ekalaya yang ditolak dan diabaikan." (h. 12)
Begitulah kecamuk batin Alina Suhita dalam pernikahan yang dijodohkan. Alina adalah seorang Ning (sebutan untuk putri kiai di Jawa). Sejak kecil ia telah diambil calon mantu seorang kiai yang memiliki ribuan santri di pesantrennya. Masa depannya telah ditentukan oleh calon mertuanya, termasuk di mana ia harus mondok dan kuliah. Setelah pernikahannya dengan Gus (sebutan untuk putra kiai di Jawa) Birru, Alina tidak mendapatkan kebahagian tetapi penolakan dan pengabaian dari Gus Birru.
"Perjodohan itu tidak ada dalam kamus hidupku. Aku ini aktivis. Aku teriak setiap hari soal penindasan. Soal memperjuangkan hak asasi. Kawan-kawan menertawakanku karena aku tidak bisa memperjuangkan masa depanku sendiri. Semua kawanku kecewa dengan perjodohan ini." (h. 2)
Begitulah Gus Birru, ia lebih menyukai dunia aktivisnya dari pada mengurus manajemen pondok pesantren abahnya. Alina, ya, Alinalah yang selama ini mengurus pesantren tanpa Gus Birru mengetahui bagaimana kerja kerasnya membangun kemajuan pesantren. Yang ia tahu, Alina adalah seorang gadis penghafal al-Qur'an yang begitu disayangi uminya.
Gus Birru lebih suka berada di luar rumah dan pesantren. Kesehariannya disibukkan dengan kegiatan aktivis pergerakan di kampus, memperjuangkan hak-hak orang melalui dunia jurnalis. Sehingga bertemu dengan Rengganis, seorang gadis yang cantik, cerdas, dan memiliki kepiawaian jurnalistik telah mengisi relung hati Gus Birru. Setiap hari mereka bertemu untuk membahas tentang jurnalistik yang sedang dibangun oleh Rengganis dan timnya agar jurnalistik masuk di pesantren-pesantren.
Di bab-bab awal mungkin terkesan sosok Rengganis sebagai orang ketiga perusak hubungan, tapi setelah membaca keseluruhan cerita dalam novel. Pembaca akan diberikan cerita yang sangat menarik, memikat, setiap tokoh diberi ruang cerita yang proposional sehingga tidak ada karakter tokoh yang mendominasi di dalamnya.
Bagaimana kelanjutan cerita dari Gus Biru dan Rengganis dan bagaimana kisah rumah tangga Gus Birru dengan Alina Suhita? Sanggupkan Suhita bertahan dengan rumah tangganyanya? Bagaimana dengan pondok pesantren dengan ribuan santri dan mertuanya yang begitu menyayangi Alina Suhita? Temukan jawabannya dengan membaca novelnya ya! 🥳
Tidak ada komentar:
Posting Komentar