Judul: Tembang dan Perang
Penulis: Junaedi Setiyono
Penerbit: PT KANISIUS
Tahun Terbit: 2020
Tebal: 372 halaman
Peresensi: Ihdina Sabili
Cerita Panji mengingatkan kita pada masa kecil. Masa ketika dongeng pengantar tidur selalu dinanti-nanti. Masa ketika kisah-kisah nusantara terngiang di kepala anak-anak belia. Masa ketika tokoh pahlawan menjadi idola remaja, cermin meraih mimpi dan kata kunci cita-cita.
Sadarkah kita bahwa kisah-kisah itu sedikit banyak mewarnai hidup kita. Pesannya menyusup ke alam bawah sadar kita. Meski memang tak semuanya, bahkan cenderung yang terkesan remeh dan tidak begitu mulia, tapi begitulah cerita rakyat. Dekat dan hangat, ada rasa mencintai tanah air tersisip di dalamnya. Karena hanya Indonesia yang memiliki kisah tersebut. Cerita rakyat tak melulu heroik dan mengharukan, tak selalu beramanat dan menginspirasi, tapi dekat dengan darah nadi, hingga dapat kita imajinasikan.
Membaca Tembang dan Perang membawa kita kepada masa kerajaan-kerajaan nusantara, khususnya di Jawa. Sejarah kejayaan Kerajaan Kadiri menjadi latar sejarah diramu dengan begitu halus dan berwibawa dalam novel berisi 372 halaman ini. Cerita sejarah yang biasanya memberi kesan panjang dan membosankan, di sini dibawakan dengan menyenangkan, meski tetap tidak bisa dikatakan ringan.
Nilai-nilai sosial yang diusung di masa kerajaan sarat dalam keterkaitan antar tokohnya. Meski lahir sebagai sebuah karya fiksi, novel ini menjadi sebuah karya sastra yang tak boleh dipandang sebelah mata. Kisahnya begitu alami, konflik pun dipermainkan apa adanya. Nilai religi pun tak ketinggalan dicantumkan meski bukan menjadi inti cerita. Salah satunya kisah asal muasal manusia, titik awal ia diciptakan Mahadewa. Keberadaannya dari Suargaloka dan bagaimana akhirnya mereka turun ke dunia akibat perbuatan mereka. Tentu ini seperti tak asing di kepala saya sebagai seorang muslim, kisah manusia pertama ciptaan Allah, Nabi Adam.
Contohnya pada halaman 109 dituliskan tentang penjelasan arti aksara jawa, yakni Ha Na Ca Ra Ka berarti ada utusan; Da Ta Sa Wa La berarti lalu mereka bertengkar dan berkelahi; Pa Da Ja Ya Nya berarti mereka sama-sama kuatnya; Ma Ga Ba Tha Nga berarti akhrinya keduanya jadi bangkai. Di sini Rara Suci, bibi Pangeran Panji menjabarkan apa maksud dari uraian aksara tersebut. Tentang hubungan antara pria dan wanita telah disuratkan oleh para leluhur. Mulai dari bagaimana mereka berjumpa, mulai bercinta, hingga akhirnya berpurna.
Amanat luhur sebagai manusia yang hidup di muka bumi juga dituliskan dalam Tembang yang disenandungkan Tendas, yang pada akhirnya lebih masyhur dikenal Kebotendas. Seorang prajurit Kerajaan Jenggala yang mulanya pembuat gambang dan mahir menembang ini nantinya mendapat peran kuat dalam jalan cerita Kisah Panji ini. Meski begitu, tetaplah Panji sebagai tokoh utama, sang pangeran mahkota, sang idaman semesta. Ia dengan kegagahannya berperang, ia dengan kejantanannya menaklukkan wanita sempurna memesona, sukses menyihir imajinasi para pembaca.
Junaedi Setiyono, atau biasa dipanggil Pak Jun, telah berhasil mengaduk emosi dan imajinasi pembaca novel sejarah melalui tokoh pangeran sang penakluk, Pangeran Panji, alias Raden Kelana, alias Baginda Raja Kadiri. Latar belakang Pendidikan Bahasa di Universitas Negeri Semarang dan pemerhati sejarah Indonesia menjadikan Junaedi mampu mengolah diksi dan frasa yang memikat sempurna dalam menyuguhkan konflik politik kerajaan dipadukan romansa para pemangku kerajaan.
Akhirnya, sebuah novel tetaplah sebuah karya yang tidak nyata. Namun dengan membawa tema sejarah di dalamnya, telah menunjukkan riset dan pendalaman cerita tentu tidak main-main dilalui oleh sang penulis. Sebagai pembaca, saya tentu memiliki banyak keterbatasan dalam mengamati novel ini. Namun itu semua takkan sebanding jika mengingat begitu sarat pengetahuan dan amanat penting yang dapat diperoleh dari buku terbitan tahun 2020 ini. Bahkan di bagian awal juga dicantumkan Silsilah Raja-raja dari Erlangga-Panji.
Hal yang tak kalah menarik dari isi cerita Panji dalam buku ini adalah bagaimana sosok Panji memperlakukan perempuan di sekelilingnya. Meski di masa tersebut sangat kental dengan unsur-unsur patriarki, namun dengan berani Junaedi memaparkan sisi lain seorang Panji dengan karakter yang cukup bertolak belakang dengan stigma tersebut. Tidak hanya terbatas pada wanita-wanita priyayi di tlatah keraton. Istimewanya, sosok emban pun diberi ruang cerita dengan perhatian besar. Tidak salah jika novel ini juga menonjolkan aspek kemanusiaan di tengah kehidupan kerajaan di masa lalu, tepatnya di abad 12 tersebut.
Novel ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Panji's Crush oleh Dalang Publishing dan beredar di Amerika Serikat dan Kanada.
Maka tak perlu lama lagi, mari kita baca dengan seksama dan teliti kisah Panji yang telah diramu dengan indah dan berwibawa ini. Selamat Membaca dan temukan hal-hal istimewa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar