source: twitter Iffah Hannah
Penulis: Raedu Basha
Genre: Kitab Syair
Cetakan: Pertama, Juni 2022
Penerbit: Ganding Pustaka Yogyakarta
Jumlah halaman: 132
Peresensi: Nabilah Munsyarihah
Tidak banyak buku menceritakan secara khusus peran para bunyai. Jika ada yang lahir, pastilah disambut sanjung puji karena mengisi ruang intelektual yang lengang tentang peran perempuan Islam di Nusantara. Hadrah Nyai lebih langka lagi. Ini adalah sebuah buku yang mengisahkan peran perempuan Islam di Nusantara lewat syair.
Beberapa kali saya sendiri membaca dan mencoba menuliskan kembali dalam artikel pendek tentang peran sejumlah nyai. Kisah sejarah selalu berisi data dan cerita. Dalam tulisan prosa, bobotnya dipengaruhi oleh kedalaman data yang dipaparkan. Jika ada tulisan yang berhasil menyelipkan rasa di dalamnya, itu juga berkat kedalaman cerita yang digali. Kadang ada getir, pilu, atau kekaguman yang terselip dalam tumpukan data.
Membaca syair-syair dalam Hadrah Nyai memberikan pengalaman yang berbeda. Sebab dalam bentuk puisi, setiap baitnya mengandung rasa yang kuat dan dalam. Apalagi ini kisah tentang para perempuan perkasa, Raedu Basha membalut cerita dengan manis-asam-pahit rasa. Di sebagian syair, banyak mengandung cerita, terutama jika tokoh ini dilupakan zaman. Seperti syair terpanjang tentang Rahma Elyunusia, Raedu bercerita panjang tentang perjuangannya mendirikan madrasah lil banat pertama. Syaikha begitu ia dipanggil sebab para piawai dari Timur Tengah pun belajar padanya bagaimana mendidik murid-murid perempuan untuk melek ilmu dan aksara.
Tapi dalam syair Nyai Sholichah Ciganjur, Raedu sepenuhnya bermain simbol.
kuisi sungkawa dengan habis-habisan
membesarkan kebeningan sorga_
dan benih itu kini kalian terima
Tidak banyak cerita yang Raedu sampaikan dalam syair ini. Tebakan saya karena tokoh yang diceritakan ini masih begitu dipeluk zaman seperti tak ingin membiarkannya pergi dan dilupakan. Raedu cukup mengolahnya dalam syair indah tanpa data dan cerita. Semuanya dititipkan dalam simbol yang dititipi rasa dan kesan mendalam.
Ada 24 judul syair, membentang di dalamnya para tokoh perempuan lintas zaman. Sebagian mungkin terdengar asing, sebagian mungkin telah kita kenal. Raedu memilihkan nama-nama ini barangkali dengan suatu dasar. Mengapa tokoh ini ditulis, mengapa tokoh itu tidak. Tapi bagi saya, pemilihan nama-nama ini cukup unik, segar, dan ketika selesai satu syair pembaca bertanya siapakah tokoh selanjutnya.
Tradisi puitik dalam dunia Islam dimulai sendiri oleh Al-Quran. Di dalam Al-Quran juga banyak terdapat kisah-kisah masa lalu yang dibalut dengan bahasa indah. Pada zaman-zaman selanjutnya, syair-syair selalu memberikan ruh pada zaman. Lahirnya Hadrah Nyai ini melanjutkan tradisi itu dengan sudut pandang zaman sekarang yang ingin mengapresiasi dan mengakui begitu pentingnya para tokoh perempuan di Nusantara. Saya senang sebab ruangan lengang tentang tokoh perempuan salah satunya diisi oleh syair yang pesannya sekuat tekad para tokoh yang diceritakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar