Judul Buku: 7 Tastes of Lovesumber: dokumentasi Iffah
Pengarang: Toko Koyanaga
Penerbit: Baca
Tahun Terbit: 2021
Jumlah Halaman: 349
Genre: Fiksi
Peresensi: Iffah Hannah
Kerap kali, kita berprasangka bahwa kehidupan orang-orang lain pasti indah dan bahagia, sementara hidup kita saja lah yang penuh kerikil-kerikil, kesulitan, dan kesusahan. Orang Jawa mengistilahkannya: sawang sinawang. Begitulah orang-orang melihat kehidupan Kiriko, tokoh utama novel 7 Tastes of Love.
Ia cantik. Teramat cantik malahan. Sampai-sampai kecantikannya itu mengintimidasinya sehingga ia merasa harus menyembunyikan wajahnya di balik masker dan kacamata. Insecure. Ia bahkan sampai berniat untuk operasi plastik dan mengubah wajahnya. Di saat orang-orang pergi ke bedah plastik untuk menjadi lebih cantik, ia menginginkan yang sebaliknya. Ia merasa kecantikan parasnya adalah sebuah kutukan dan penyebab rentetan nasib buruk yang menimpanya. Meskipun, tentu saja itu tidak benar.
Bagi orang lain, Kiriko adalah sosok yang sempurna. Ia juga menantu dari keluarga terhormat dan kaya raya. Suaminya tampak tanpa cela.
Tapi, Kiriko tidak bahagia. Kehidupan pernikahannya yang selama ini ditampilkan di media sosial oleh sang suami, palsu belaka. Kedua suami istri itu saling berbohong dan pura-pura bahagia.
Ketika dirunut kembali perjalanan pernikahan mereka, rasa-rasanya persoalannya memang lebih kompleks dari sekadar ingin terlihat bahagia di mata dunia. Sosok suami Kiriko, seorang anak dari keluarga terpandang dan terhormat, tampaknya adalah sosok yang tidak kalah insecure. Ia membutuhkan validasi dari mata masyarakat, juga keluarganya, bahwa ia bukanlah seorang pecundang. Barangkali ini terjadi karena keluarganya sendiri kerap membandingkannya dengan kakak-kakaknya yang dianggap lebih pintar dan lebih sukses. Sehingga ia bahkan punya ide gila untuk ikut program bayi tabung tapi bukan menggunakan spermanya sendiri, melainkan sperma kakaknya, sosok yang dianggap sebagai bibit unggul sempurna.
Kehidupan pernikahan yang tampak bahagia seperti porcelen yang dipajang di rak kaca itu akhirnya hancur juga. Kiriko membuat keputusan yang sangat berani dengan pergi dari rumah dan mengajukan gugatan cerai. Keputusan itu sekaligus menjadi titik balik bagi keduanya untuk menilai kembali diri masing-masing; untuk jujur pada diri masing-masing.
Di tengah guncangan batinnya, Kiriko beruntung dikelilingi oleh orang-orang baik yang menyayanginya. Saudara sepupunya, rekan kerjanya di sebuah dapur di panti jompo, juga sebuah keluarga restoran Jepang yang ia kenal karena peran Sajita-san.
Sosok Sajita-san, lelaki tua yang awalnya hanya menjadi rekan kerja di panti jompo, menjadi cukup penting dalam perjalanan Kiriko kemudian. Pengalaman mencicipi masakannya, bekerja bersama di dapur, serta persinggungan-persinggungan lainnya turut berperan dalam perubahan hidup Kiriko.
Novel ini mengisahkan perjalanan Kiriko dalam menemukan kebahagiaannya yang sebenarnya. Tentang masakan yang membuat dadanya berdebar dan merasakan "inilah cinta". Untuk yang ia cintai dan yang mencintainya.
Tentu saja perjalanan itu tidak mudah. Ada air mata. Ada keputusasaan. Ada perang batin. Tapi, pada akhirnya ia sampai di sana. Ia menemukan orang-orang yang mengasihinya, yang kemudian menjadi teman-teman baiknya, juga seorang lelaki yang mencintainya dan dicintainya. Dan di titik itu, Kiriko ingat kata-kata mendiang neneknya “Tumbuhlah besar, dan setelahnya kau bisa memasak untuk orang yang kau suka…”
Ah ya, ada satu sosok menarik dalam novel ini yang tidak bisa diabaikan. Ia adalah Shotaru, cucu keluarga pemilik restoran Jepang yang menjadi sahabat Kiriko. Anak berusia 9 tahun ini juga dikisahkan dengan sangat menarik dalam novel, anak berpikiran dewasa yang harus berdamai dengan sosok ayah brengsek yang menelantarkannya dan ibunya.
Novel ini ringan dan enak dibaca. Membawa kita tenggelam dalam budaya Jepang dan masakan-masakan yang membuat perut keroncongan. Sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar