sumber: dokumentasi Uswah
Judul buku: I Want to Die But I Want to Eat Tteokpokki
Penulis: Baek Se Hee
Penerjemah: Hyacinta Louisa
Penerbit: PT. Haru Media Sejahtera
Tahun terbit: Januari 2022 (cetakan ke-24)
Genre: Nonfiksi, psikologi, mental health, self improvement
Jumlah halaman: 236
Peresensi: Uswah
I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki menjadi resensi perdana setelah vakum selama beberapa tahun dari menulis resensi. Satu hal yang menjadi pelajaran, bahwa membaca itu nikmat, meresensi berat, sedangkan memotret cover buku untuk dijadikan status adalah suatu keniscayaan, darling adik-adik Kak Jill. ~
Aku tidak terlalu paham tentang ilmu kejiwaan namun aku selalu tertarik dengan segala hal yang berhubungan dengan kesehatan mental, tak terkecuali buku ini, Baek Se Hee memilih menuliskan buku ini dengan cara alih percakapan ke teks (transkripsi) hasil konsultasinya selama 12 minggu dengan psikiater. Per lembarnya berisi dialog yang ditulis dengan inisial A (aku/narator) dan P (Psikiater), dibubuhi semacam review dari penulis tentang pengalaman dan perkembangan mentalnya selama berdiskusi. Dengan membaca buku ini aku berharap mengetahui bagaimana cara orang-orang Korea menyadari pentingnya berkonsultasi kepada psikiater ketika menghadapi mental illness. Cara vokalis Shinee, Kim Jong-hyun pergi meninggalkan dunia dengan bunuh diri sangat kusayangkan, betapa aku mengidolakannya sejak dulu. Depresi benar-benar menjadi isu yang serius dalam dunia hiburan negeri ginseng.
Pasien dengan gangguan depresi ringan namun berkepanjangan
Baek Se Hee mengidap distima (depresi) dan gangguan kecemasan selama 10 tahun, tidak seperti depresi yang berat, distima adalah jenis depresi ringan namun berkepanjangan, gejala depresi yang dialami Baek Se Hee antara lain; Suka berbohong agar diakui eksistensinya (Mitomania), berusaha agar menjadi sosok unik atau lain dari yang lain di mata sosial, merasa insecure karena kurang menarik, dsb. Perasaan tersebut mungkin sangat mengganggu perkembangan masa depan seseorang. Bayangkan, hal-hal kecil menurut sebagian orang menjadi suatu masalah yang besar dan rumit bagi seorang pasien pengidap distima? Apakah kita pernah menyadari bahwa ada orang di sekitar kita yang seperti itu? Atau bahkan kita sendiri ternyata sosok yang sama dengan Baek Se Hee? Adanya buku ini cukup menyadarkanku bahwa pentingnya berempati, lebih berhati-hati dalam bergaul karena kita tidak tahu apa yang terjadi dalam jiwa seseorang. Bisa saja kita melontarkan sepatah dua kata dengan canda, tetapi ternyata mampu menggores hati seseorang.
Membaca buku ini serasa begitu dekat, aku juga ikut larut dalam obrolan dokter dan pasien tersebut. Seolah akulah Baek Se Hee, orang yang mengalami depresi ringan namun berkepanjangan, saking larutnya dalam mendalami dialog itu sampai-sampai aku menangis, merasakan apa yang dirasakan Baek Se Hee.
Namun mungkin aku agak kecewa terhadap psikiater Baek Se Hee karena menemukan beberapa tanggapan dari psikiater yang mengatakan “bodoh”, “kekanak-kanakan”, atau perkataan-perkataan yang aku pikir itu sensitif bagi pasien, aku tidak tahu apakah alih bahasanya yang terlalu frontal? Yang sebetulnya tidak sekasar itu di buku aslinya yang berbahasa Korea. Atau memang metode terapinya seperti itu? Dan ada beberapa stigma serta judgmental dari psikiater terhadap pasien, meskipun tidak bisa memungkiri lebih banyak pencerahannya. Aku anggap ungkapan tersebut sebagai “reward” dan “punishment” untuk pasien. Nyatanya, di akhir bukunya, Baek Se Hee mendeklarasikan bahwa rasa depresinya semakin membaik, rasa cemas atau khawatir pada orang lain pun semakin berkurang dan lebih mencintai dirinya sendiri.
Pasien sembuh (?)
Dalam buku ini, menurutku psikiater memang bertindak sebagai teman curhat pasien. Bedanya, psikiater berhak memberikan resep obat untuk menenangkan pasien, meskipun pada catatan Minggu 8 pasien merasakan ada efek samping obat yang diberikan dokter, dari sini pun aku bertanya, mengapa psikiater meresepkan obat yang menimbulkan efek samping bagi pasien? Apakah diagnosanya kurang menyeluruh?
Aku ragu apakah ketika seseorang cukup menemukan teman yang tepat untuk bercerita, maka tidak perlu lagi mencari psikiater?
Tapi aku bahagia sekali ketika buku ini menjadi #1 best seller di Korea, karena dengan begitu banyak masyarakat Korea yang akan teredukasi tentang pentingnya menjaga kesehatan mental, semakin banyak orang membaca buku ini maka akan mengurangi tingkat depresi kehidupan di sana.
“Meskipun kita merasa seperti ingin mati, kadang hati kita berbisik dan kita pun merasa ingin makan tteokpokki” (hal. 192)
Dan seperti biasa, buku terjemahan terkadang kurang memuaskan pembaca, termasuk aku, masih ditemukan banyak tanda baca yang salah penempatan, warna dalam kertas yang merupakan paduan dari warna koral dan krem yang sedikit mengganggu dan highlight yang tidak perlu. Bila teman-teman tertarik membaca buku ini silakan membelinya, ada volume 2 juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar