Penulis: Yanusa Nugroho
Penerbit: Indonesia Tera
Tahun terbit: Februari 2021
Genre: Fiksi, sastra, novel, wayang,
Jumlah halaman: 596
Peresensi: Iffah Hannah
"Di hadapan cinta, gunung kemarahan akan gugur. Langit keangkuhan akan runtuh ke bumi kepasrahan." (Hal. 491)
Akhirnya, setelah semingguan baca, buku setebal 596 halaman ini selesai juga. Buku karya Yanusa Nugroho ini mengisahkan tentang Karna, sosok saudara Pandawa yang membela Kurawa di Padang Kurusetra.
Sekitar satu dekade lalu, cerita ini ditulis dalam bentuk cerita bersambung dalam notes Facebook milik Yanusa Nugraha. Dan akhirnya kini terbit edisi lengkap dalam novel "Pohon Purba Berdahan Pelangi Berdaun Bintang."
Dulu, saya selalu menganggap Karna sebagai sosok antagonis yang jahat. Tapi, membaca narasi Yanusa Nugroho tentang Karna dalam novel ini, saya berpikir ulang, bahwa di dunia ini mungkin tidak ada yang benar-benar jahat dan tidak ada yang benar-benar baik sepenuhnya. Semacam dua sisi koin mata uang yang sama.
Semua orang menjalani darma-nya masing-masing. Karna yang memilih berdiri di pihak Duryudana, bukannya tidak mencintai saudara-saudara kandungnya, para Pandawa, yang harus berseberangan di arena pertempuran. Baginya sendiri, peperangan Baratayuda ini bukan soal benar atau salah, tapi soal memenuhi tugasnya sebagai panglima. Juga ketika ia harus menghadapi kenyataan bahwa kemenakan yang dicintainya, Gatotkaca, harus meregang nyawa di tangannya, ia berusaha menahan luka di hatinya karena ia tahu itu adalah bagian dari tugasnya sebagai Ksatria.
Karna, anak yang terbuang dari ibu bapaknya. Mengembara untuk mencari dirinya. Ketika tahu kalau ia juga adalah putra Kunti yang berarti saudara para Pandawa, ia marah dan menggugat dalam batinnya kenapa ia harus dibuang dan ditelantarkan. Sampai akhirnya, penerimaan itu datang. Ia bersimpuh di kaki Kunti dan lesaplah segala kemarahannya. Menguap begitu saja. Yang ada hanya cinta. Pada ibu yang telah melahirkannya, yang menjadi jalannya hadir ke dunia.
Nasib terbuang saat kanak mengantarkannya menjadi pengembara yang mencari kesejatian dirinya. Ketika penerimaan itu datang, takdir justru menempatkannya untuk berhadapan dengan saudara-saudara yang dicintainya. Tak ada pilihan selain menerima takdir itu dengan tangan terbuka. Sehingga ketika waktunya tiba, ia menyambut kematiannya dengan suka rela. Tersenyum. Saat adiknya, Arjuna, melesatkan pasopati yang menghujam ke dadanya.
Karna yang dikisahkan dalam "Pohon Purba Berdahan Pelangi Berdaun Bintang" membuat saya berpikir ulang tentang banyak hal. Juga turut berempati dengan pilihan-pilihan yang ia buat. Betapa tidak mudah menilai seseorang ya. Apa yang kita anggap jahat, mungkin sejatinya tidak sejahat itu. Begitupun sebaliknya. Sehingga, acap kali, pemakluman-pemakluman itu tidak bisa terhindarkan lagi. Bagi pecinta cerita wayang, buku ini sayang untuk dilewatkan. Apalagi untuk yang pernah membaca "Sumpah Ramaparasu" karya Triwibowo BS, karena tokoh Parasu hadir juga dalam novel ini sebagai salah satu guru Karna yang ditemuinya dalam pengembaraan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar