sumber: dokumen Nabila |
Penulis: Arif Maftuhin
Halaman: 209 halaman
Penerbit: Penerbit Gading
Terbitan: Pertama, Desember 2022
Peresensi: Nabilah Munsyarihah
Sebelum membahas buku ini, saya ingin bercerita sedikit. Saya pernah berkesempatan pergi ke negeri asing lalu singgah di sebuah tempat bersejarah. Saya dan rombongan diberi kesempatan tur dan mendapat informasi tentang tempat itu. Sebenarnya tidak ada yang aneh ya, tur dan belajar sesuatu yang baru. Tapi entah mengapa saya merasa menyesal tidak riset dulu tentang tempat yang akan saya kunjungi hari itu. Rasanya kalau riset dulu, pastilah saya akan lebih memahami dan kulakan lebih dari informasi dasar seperti turis pada umumnya. Lebih nelangsa lagi, setelah itu saya melanjutkan tur solo ke salah satu ibu kota terkenal di dunia. Lepas dua hari, tibalah jadwal saya pulang. Baru saya sadari ternyata saya pulang sehari sebelum pawai kemerdekaan. Betapa meriahnya, bayangan saya. Lagi-lagi saya merutuki kepolosan saya sebagai pelancong yang rugi besar karena melewatkan pengalaman berharga sebab kurang wawasan. Pulang dari negeri asing itu, saya tidak bisa menulis apa-apa selain sebuah puisi. Sebab saya terlalu dangkal untuk menulis bahkan sekadar catatan perjalanan.
Buku Yerussalem ini mengingatkan saya pada perasaan malu saya di atas. Buku ini ditulis dengan penuh wawasan. Penulisnya adalah seorang doktor dosen UIN Suka Yogyakarta yang residensi di Israel untuk sebuah program post-doctor selama setahun. Ia mendaftar program yang diselenggarakan Prof. Ronit Ricci yang secara kebetulan saya sedikit mendapat cerita tentang si profesor dan riset tersebut dari Mas Ulil Absar Abdalla beberapa minggu sebelum saya membeli buku ini.
Buku ini terdiri dari 10 bab yang masing-masing terdiri dari beberapa esai pendek. Saya paling terkesan dengan bab Cerita dari Al-Aqsa. Saya menikmati setiap cerita-cerita penulis berangkat jumatan ke Al-Aqsa dan di setiap kesempatan itu ia berjumpa dengan orang-orang yang berbeda. Mulai dari tentara Israel sampai orang yang pedekate mau minta uang dengan menjual kisah hidupnya.
Salah satu cerita yang menarik, selesai sholat jumat, Imam berdiri dan sholat lagi dua rokaat. Karena tidak paham ini sholat apa, penulis ikut saja manut niat sholatnya imam. Setelah selesai, ia pun bertanya pada jamaah lain tadi itu sholat apa. Ternyata sholat jama' qosor asar. Kenapa? Karena jamaah Masjid Al-Aqsa ini datang dari berbagai tempat termasuk peziarah internasional. Penulis berkomentar, Masjidil Haram dan Masjid Nabawi lebih internasional, tapi tidak ada praktik seperti ini. :)
Lebih jauh, penulis menceritakan berbagai perjumpaan yang bisa memberikan potret Israel yang tidak hitam putih. Seperti, banyak orang Islam-Arab di Israel, orang Yahudi Orthodox itu antipenjajahan (sebab pendudukan Israel itu tidak Tauraty), orang israel ultranasionalis yang propenjajahan. Ada juga kisah tentang perempuan keturunan Yahudi yang masuk Islam. Momen 'futuh'nya datang saat dia mempertanyakan, cara ibadah King David itu bersujud, tapi mengapa tidak ada sujud dalam ibadah Yahudi? Ia menemukan sujud dalam Islam. Yang menarik dan kocak, refleksi keberagamaan ini diumpamakan iphone. Yahudi-Islam itu bagaikan iphone lama dan baru, bedanya hanya di versi update. Islam itu ajaran versi updated. :))
Penulis mengajak kita jalan-jalan di Yerussalem dengan detail kalimat visual. Saya sungguh gemas karena kalimat yang menggambarkan jalan dan sejumlah landmark di Yerussalem tidak cukup memuaskan saya. Untung saja selain rajin bekerja dan menulis catatan sampingan seperti di buku ini, penulis juga ngevlog. Pengalaman membaca buku ini disempurnakan dengan menonton video di Youtube channelnya, Arif Maftuhin. Dahaga visual usai membaca buku lumayan terbayar. Saya jadi paham sedekat apa Masjidil Aqsa yang berkubah hijau dengan Masjid berkubah kuning di seberangnya yang sering dikira Al-Aqsa.
Absennya visualisasi dalam buku ini sebenarnya memang semacam lubang kecil yang menganggu. Yang saya harapkan bukan foto-foto, melainkan sebuah peta sederhana ala peta bajak laut yang menggambarkan sejumlah tempat yang ada di buku ini, seperi Al-Aqsa, Mt. Scopus letak Hebrew University, Western Wall, gereja dan sinagoge legendaris, terminal bus, pasar, dan sebagainya. Tidak perlu skala presisi, hanya untuk menghadirkan Yerussalem sebagai sebuah kota.
Saya membaca hampir semua esai dan menikmati jalan-jalan yang berwawasan ini. Hanya satu bab yang sengaja saya lewatkan yaitu bab Pandemi di Israel.
Banyak travel blogger yang menuliskan pengalamannya melancong. Banyak doctor yang lalu-lalang pergi untuk suatu program di luar negeri. Tapi tidak banyak tulisan yang bisa menawarkan catatan perjalanan dengan wawasan sejarah-geoplotik-budaya-agama yang mumpuni dan diceritakan dengan kisah perjumpaan menarik dalam bahasa yang renyah sekaligus berani menunjukkan standpoint. Anda tidak akan menemukan rekomendasi rute perjalanan, landmark yang instagrammable, atau referensi kuliner dalam buku ini. Tapi, anda mungkin akan jadi sedikit paham gambaran Yerussalem modern dan keberagamannya yang kompleks. Termasuk konflik Israel-Palestina yang diamati penulis dengan kaca mata kebudayaannya.
Saya kembali gemas. Catatan seperti ini yang ingin saya tulis jika suatu hari berkesempatan mendatangi tempat asing yang menarik. Saya ingin datang dengan seperangkat informasi dan asumsi yang dibuktikan dengan pengalaman. Berangkat membawa pertanyaan dan pulang membawa jawaban. Itulah perjalanan yang bisa memperkaya jiwa. Semoga saya bisa mendapat pengalaman seperti itu di masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar