sumber: dokumentasi Ajeng |
Judul buku: Sayyidah Aisyah
Pengarang: Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi
Penerbit: PT. Serambi Semesta Distribusi
Tahun: 2019
Jumlah halaman: 227
Genre: Nonfiksi - Literatur Islam
Peresume : Ajeng Indira Dewi
Sebelum Ramadhan (tahun 2020), sempat viral lagu tentang Sayyidah Aisyah r.a. yang akhirnya menimbulkan pro-kontra terkait lirik lagu tersebut. Memang lagu ini memiliki dua versi, ada yang liriknya lebih cenderung menceritakan tentang keindahan dan kecantikan fisik Sayyidah Aisyah r.a. serta kemesraan-keharmonisan Nabi Muhammad saw. dengan Sayyidah Aisyah r.a. , versi yang kedua liriknya lebih cenderung tentang kepribadian, keilmuan dan kecerdasan Sayyidah Aisyah r.a.
Adanya kontroversi tersebut, akhirnya teringat sebuah buku berjudul Sayyidah Aisyah r.a. Penulis buku tersebut yaitu Syekh Muhammad said Ramadhan Al-Buthi. Pada karyanya ini, beliau mengusung tema-tema yang sangat menarik untuk dibaca, dipelajari dan tentunya sangat tepat untuk dibuat bahan resensi ataupun resume. Topik pembahasan serta cara penyampaiannya juga berbeda jika dibanding dengan buku-buku lain dengan judul yang sama.
Buku yang dalam bahasa Arabnya berjudul “Aisyah Ummul Mukminin” ini memang tidak terlalu tebal dan komprehensif tentang seluruh perjalanan hidup Sayyidah Aisyah r.a., tetapi tema-tema yang diangkat mampu menambah pengetahuan serta pemahaman dari sisi keilmuan terkait hal- hal aktual dan kontroversial dalam kehidupan Sayyidah Aisyah r.a.
Gaya penyampaian Syekh Buthi yang lugas dan tegas, menjadikan pembaca mudah faham dan mengerti point pembahasan serta hal utama apa yg bisa kita tangkap sebagai ‘ibrah yang kemudian menambah pengetahuan dan keyakinan kita, khususnya sebagai seorang Muslim atau Muslimah.
Terutama karena pada bagian akhir di bab-bab tertentu, Syekh Al-Buthi memberikan konklusi berupa point-point penting yang bisa diambil sebagai pelajaran, pengetahuan dan hikmah yang
tersurat serta tersirat dari seluruh peristiwa atau kejadian yang diceritakan dari awal hingga akhir pada bab tersebut.
Salah satu kitab yang menjadi rujukan utama dalam buku ini adalah kitab yang dikarang oleh Al- Zarkasyi yang berjudul Al ijabah fima istadrakathu Aisyah ala Ash-Shahabah. Meski demikian Syekh Al-Buthi menjelaskan pada salah satu bab, bahwa ada beberapa riwayat dalam kitab tersebut yang tidak valid dari sisi sanad. Sehingga beliau juga memilah dan memilih mana yang shahih.
Kitab Al-Bidayah wa Al-Nihayah karya Ibn Katsir juga menjadi referensi utama beliau pada buku ini, terutama ketika menjelaskan peristiwa perang jamal, hal ini beliau lakukan karena menurut beliau, kitab ini merupakan rujukan yang terpercaya di antara kitab-kitab lain dan rujukan paling adil dalam menggambarkan peristiwa perang jamal tersebut.
Sikap kehati-hatian dan ketelitian beliau juga sangat tampak ketika menjelaskan hal-hal kontroversial terkait Sayyidah Aisyah r.a. Memang Syekh Al-Buthi sangat selektif dalam menfilter dan meneliti riwayat-riwayat yang beliau gunakan untuk memaparkan argumentasinya di buku ini. Beliau merujuk ke sumber-sumber yang paling kokoh dan terpercaya seperti kitab hadis shahih Bukhari dan Muslim juga kitab-kitab hadis yang mu’tamad yang memiliki sanad yang kuat.
Hal-hal tersebut utamanya dikarenakan prinsip dan landasan yang Syekh Al-Buthi pegang, yaitu hadis shahih dari Abdullah ibn Mughaffal, sebuah sabda Nabi saw, yang berbunyi : “Allah, Allah berhati-hatilah dengan para sahabatku. Jangan mengecam dan mencaci mereka. Sungguh aku mencintai siapa saja yang mencintai mereka dan membenci siapa saja yang membenci mereka. Siapa saja yang menyakiti mereka berarti mereka menyakitiku.” (H.R.Tirmidzi)
Muqaddimah
Pada bagian awal, Syekh Al-Buthi menyampaikan bahwa beliau tidak akan menceritakan detail rangkaian perjalanan hidup Sayyidah Aisyah r.a. dari lahir hingga wafat, tetapi lebih fokus hanya pada peristiwa-peristiwa penting saja yang terjadi dalam kehidupan Sayyidah Aisyah r.a. yang berpengaruh besar terhadap perkembangan keilmuan umat Islam. Memang setelah dikaji dan ditelaah dengan cermat, buku ini mengupas kehidupan Sayyidah Aisyah r.a. dari dua sisi, yaitu pengetahuan keagamaan dan analisis sosial keagamaan.
Syekh Al-Buthi juga menjelaskan bahwa dalam penyampaian kehidupan Sayyidah Aisyah r.a., beliau berusaha melakukan analisis secara objektif dan menempatkan perjalanan hidup ummul mukminin sebagai objek kajian ilmiah. Beliau melepaskan diri dari pengaruh berbagai pemikiran dan kecenderungan serta membersihkan diri dari prasangka.
“Dalam buku ini saya berusaha menuliskan berbagai peristiwa dan peran yang dimainkan Aisyah r.a. sebagaimana adanya, tanpa hasrat menghakimi atau menempatkannya pada madzab dan aliran tertentu. Saya juga tidak akan mengarahkan pembaca pada satu pemikiran tertentu tentang Aisyah r.a. Semata-mata saya ingin membawa pembaca pada realitas peristiwa tersebut
sebagaimana adanya, bukan pada pemikiran yang saya inginkan. Dan saya tidak mau mempengaruhi pembaca untuk mengambil kesimpulan tertentu tentang kehidupan Aisyah r.a.”
Itulah kutipan paragraf akhir di bagian Muqaddimah buku Sayyidah Aisyah yang ditulis oleh Syekh Buthi. Seperti yang sudah disampaikan pada bagian awal resume ini, bahwa Syekh Al- Buthi hanya fokus pada peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan perjalanan hidup Sayyidah Aisyah r.a., maka topik pembahasan yang akan disebutkan, merupakan ringkasan yang cukup mewakili semua tema dalam buku ini, topik-topik tersebut adalah :
1. Usia pernikahan Sayyidah Aisyah r.a. dan Nabi Muhammad saw.
Poin terpenting yang bisa disampaikan pada bagian ini ialah bahwa Syekh Al-Buthi memberikan jawaban atas kritik dan cemooh dari berbagai kalangan terkait umur Sayyidah Aisyah r.a. yang menikah muda dengan Nabi Muhammad saw. (menurut Syekh Al-Buthi, menjelang umur 9 tahun Sayyidah Aisyah r.a. baru hidup bersama serumah dengan Nabi saw. yang pada saat itu berumur 53 tahun)
Jika disimpulkan, maka ada empat argumentasi yang disampaikan Syekh Al-Buthi, yaitu :
- Kematangan pribadi dan kejiwaan tiap perempuan berbeda-beda berdasarkan iklim, letak geografis dan zaman. Pada umumnya, perempuan-perempuan yang hidup di negara beriklim panas seperti di kawasan jazirah Arab dan Afrika, mengalami menstruasi dan kematangan seksual pada usia sangat muda. Berbeda dengan perempuan-perempuan di iklim yang lembab dan dingin, seperti asia Tengah dan Eropa yang kematangan seksual dan menstruasinya bisa baru didapat pada umur 14 tahun. Dan Syekh Al-Buthi menekankan kembali, bahwa tradisi dan budaya suatu masyarakat dapat berkembang dan berubah sesuai dengan kedewasaan dan kematangan pemikiran serta keilmuan masyarakat tersebut, yang berjalin-kelindan dengan situasi dan kondisi yang terjadi.
- Budaya dan peradaban tidak bisa serta-merta disamakan dan dinilai, terutama jika rentang waktunya mencapai puluhan abad. Hal ini terbukti pada saat pernikahan terjadi, tidak ada serangan, kritik ataupun cemooh dan olokan dari pihak yang tidak menyukai atau bahkan membenci Nabi Muhammad saw. terkait pernikahan yang jarak umur antara keduanya mencapai puluhan tahun. Dengan adanya fakta tersebut, membuktikan bahwa budaya dan tradisi seperti ini tidak saja ada dan terjadi di jazirah Arab, tetapi juga kawasan-kawasan lain seperti Eropa dan Asia. Di mana jarak umur yang terpaut jauh antara istri dan suami merupakan sesuatu yang normal dan wajar.
- Bertambahnya kebahagiaan dengan makin meningkatnya kwalitas keilmuan dan kematangan serta kedewasaan pemikiran yang dicapai oleh Sayyidah Aisyah r.a. setelah menikah dengan Nabi Muhammad saw., sehingga beliau menjadi uama’ perempuan pertama pada masa itu. Sayyidah Aisyah r.a. merupakan sahabat perempuan yang menjadi acuan dan tujuan para sahabat, jika ingin bertanya tentang kebenaran suatu hal ataupun keshahihan suatu hadis, juga penjelasan tentang suatu perkara. Maka pernikahan ini, bukanlah pernikahan yang menyebabkan suatu kezaliman, pemaksaan dan ketertindasan salah satu pihak terutama pihak istri. Karena berdasarkan bukti sejarah, Sayyidah Aisyah r.a. setelah hidup dengan Nabi Muhammad saw. penuh dengan kebahagiaan dan mampu bebas berekspresi dan berkreasi sebagaimana perempuan yang mendapatkan hak-haknya, sehingga menjadi seorang Ulama perempuan pertama dan perawi perempuan yang terbanyak meriwayatkan hadits. Dan bahkan hadis-hadis dari beliau menjadi dasar penentuan hukum atau sumber hukum dalam agama Islam.
- Jawaban terakhir yang disampaikan Syekh Al-Buthi terkait kritikan dan cemooh tersebut adalah tentang keyakinan (keimanan) dan prinsip hidup umat Islam. Hal ini merupakan kunci dan point utama dari seluruh argumentasi yang beliau sampaikan dari awal. Syekh Al-Buthi menjelaskan, bahwa kita sebagai umat Islam berkeyakinan dengan kuat dan kokoh bahwa Muhammad saw. adalah seorang rasul dan Nabi Allah swt. terakhir yang merupakan pimpinan para Nabi dan rasul lain.
Kedudukan beliau yang begitu mulia, agung dan istimewa di hadapan Allah swt. bahkan Allah pun bershalawat padanya. Perilaku, perkataan, dan perbuatan beliau adalah wahyu yang selalu dibimbing oleh-Nya. Tidak terkecuali juga penentuan sikap untuk menikahi Sayyidah Aisyah r.a. merupakan perintah atau pilihan dari Allah, yang hal ini telah disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. kepada Sayyidah Aisyah r.a. setelah beliau menikahinya.
Dengan demikian, ada kesenjangan dan perbedaan dari sisi sudut pandang serta keyakinan atau prinsip keimanan antara kita umat Islam dengan orang-orang yang mengkritik terutama jika mereka orang-orang non Muslim. Mereka menganggap Muhammad saw. adalah manusia biasa atau laki-laki seperti pada umumnya, sedangkan kita umat Islam meyakini bahwa beliau adalah manusia yang agung, mulia dan istimewa, sehingga tiap keputusan dalam hidup beliau selalu berdasarkan wahyu dan perintah Allah, kalaupun ada ketidaktepatan pada sikap Nabi Muhammad saw., maka Allah swt. pasti akan menegur atau mengingatkan.
Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan tersebut tidaklah sama dan tidak bisa dipersamakan dengan pernikahan-pernikahan lain terutama masa sekarang, layaknya sebuah pernikahan antara orang laki-laki biasa yang sudah sangat berumur yang hanya dipenuhi dengan gairah seksual dengan anak yang masih dibawah umur.
2. Kabar dusta (Hadis Ifk) tentang Sayyidah Aisyah r.a.
Gambaran situasi dan kondisi kota Madinah yang masyarakatnya sangat heterogen pada saat itu, dan bagaimana posisi serta kedudukan orang Islam di kota tersebut, menjadi cerita pembuka yang di paparkan oleh Syekh Al-Buthi pada bab ini. Selanjutnya beliau menjelaskan dengan detail hal-hal yang berkaitan dengan hadis Ifk, yaitu : kejadian apa yang menjadi dasar adanya kabar dusta, latar belakang mengapa kabar dusta tersebut bisa muncul, siapa yang memiliki ide awal untuk gencar menyebarkan kabar tersebut dan siapa saja yang semangat menyebarkannya serta apa motivasi utama mereka.
Sampai pada bagaimana sikap dan respon para sahabat, Nabi Muhammad saw. dan Sayyidah Aisyah r.a. sendiri beserta orang tua beliau tentang fitnah ini dan terhadap pemfitnah yang akhirnya terbukti dusta itu. Terakhir tentang berapa lama jarak antara munculnya hadis ifk yang mulai tersebar dengan turunnya wahyu dari Allah, yang menyatakan dan menegaskan secara langsung kedustaan kabar tersebut. Hal ini terekam pada Q.S. An-Nur (24) : 11-21.
Pada akhir bab ini, Syekh Al-Buthi memberikan poin-poin penting tentang hikmah apa saja yang bisa kita dapat secara pribadi dan juga sebagai masyarakat Islam dengan adanya kejadian hadis Ifk ini:
- Bahwa membuat fitnah dan menyebarkan kedustaan dengan niat buruk adalah salah satu ciri sikap orang munafiq.
- Menunjukkan bagaimana seharusnya kita sebagai pribadi dan sebagai anggota masyarakat Islam merespon sebuah kabar yang belum jelas kebenarannya terutama jika mengarah kepada kedustaan.
- Adanya fitnah dan kabar dusta yang terjadi, akhirnya tampak dan membuat kita tahu siapa sesungguhnya yang baik dan siapa yang berhati buruk atau munafiq.
- Membuktikan bahwa Nabi Muhammad saw. adalah Nabi dan Rasulullah, serta Alquran adalah benar-benar wahyu dari Allah swt., bukan rekayasa atau buatan Muhammad saw. seperti yang dituduhkan oleh kaum musyrikin dan munafiq pada saat itu.
3. Peran dan kedudukan Sayyidah Aisyah r.a. pada masa Khulafa’ Rasyidin
“Jika anda memperhatikan kehidupan dan perilaku para Khalifah Rasyidin, anda akan mendapati bahwa mereka semua mengandalkan musyawarah dalam segala masalah yang tidak ditemukan dasar hukumnya di dalam Al-quran maupun hadis. Ketika mereka mendapati suatu masalah yang pelik dan tidak ada dalilnya, orang yang kerap didatangi dan menjadi rujukan pertama adalah Aisyah r.a. Tanpa sungkan dan ragu para khalifah Rasulullah yang mulia itu menemui Aisyah langsung atau mengutus seseorang untuk menanyakan suatu masalah.”
Paragraf di atas, merupakan bagian awal dari penjelasan Syekh Al-Buthi tentang kedudukan dan peran Sayyidah Aisyah r.a. pada masa khalifah Rasyidin. Syekh Al-Buthi juga menyatakan bahwa banyak kalangan, baik awam ataupun alim yang menjadikan Sayyidah Aisyah r.a. rujukan ataupun jujukan, baik untuk meminta fatwa hukum ataupun memverifikasi
suatu riwayat yang dinisbahkan kepada Rasulullah saw. Menurut penuturan Syekh Al-Buthi, banyak pula di antara kaum Muslim yang menemuinya untuk berkonsultasi tentang sejumlah urusan muamalah atau perkara hubungan sosial lainnya.
Hal ini tak terkecuali ayah Sayyidah Aisyah r.a. sendiri yang merupakan khalifah pertama kaum Muslimin, Syekh Al-Buthi memberikan sebuah contoh bahwa sahabat Abu Bakar r.a. pernah mengutus seseorang menemui Sayyidah Aisyah r.a. untuk menanyakan perihal faraidh atau pembagian warisan di antara istri-istri Nabi saw.
Kejadian ini bermula karena para istri-istri Nabi saw. yang lain meminta agar sahabat Utsman r.a. mendatangi sahabat Abu bakar r.a. untuk menanyakan tentang pembagian warisan Nabi saw. terhadap mereka. Pada akhirnya Sayyidah Aisyah r.a. menentang keinginan istri-istri tersebut, dengan menyampaikan hadis Rasulullah saw. “Kami tidak mewarisi, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah”.
Pada masa Khalifah Umar ibn al-Khattab r.a. peran dan kedudukan Sayyidah Aisyah r.a. sebagai rujukan umat dalam berbagai masalah khususnya masalah agama makin tampak terlihat. Khalifah Umar r.a. juga banyak membicarakan berbagai masalah dan ketetapan hukum yang berkaitan dengan perempuan. Syekh Al-Buthi menyampaikan bahwa Ibn Sa’ad meriwayatkan dalam at-Thabaqat hadis riwayat Abdurrahman ibn Qasim bahwa ayahnya berkata : “Aisyah menjadi rujukan dalam fatwa pada masa Abu bakar, Umar, Ustman dan seterusnya hingga dia (Sayyidah Aisyah r.a.) wafat.”
Pada bagian akhir masa Umar r.a. Syekh Al-Buthi menjelaskan cukup panjang bagaimana sahabat Umar r.a. meminta izin sampai dua kali kepada Sayyidah Aisyah r.a. untuk dimakamkan bersandingan dengan Rasulullah saw. dan sahabat Abu Bakar ra, pada kenyataannya beliaupun mengizinkan. Hal ini cukup menjadi bukti sejarah bagaimana eksistensi Sayyidah Aisyah r.a. sebagai Ummul Mukminin benar-benar dihormati dan disegani oleh berbagai kalangan tak terkecuali Khalifah Umar r.a.
Eksistensi Sayyidah Aisyah r.a. sebagai rujukan ilmu dan fatwa agama tetap bertahan pada masa Khalifah Ustman ibn Affan r.a. Dan Syekh Al-Buthi menuturkan bahwa sahabat Ustman r.a. sendiri tidak kurang menghormati dan memuliakan Sayyidah Aisyah r.a. dibanding kedua khalifah sebelumnya. Sebaliknya, Sayyidah Aisyah r.a. juga memuliakan dan mendukung kekhalifahan sahabat Ustman r.a.
Syekh Al-Buthi juga menyinggung tentang beberapa penulis kontemporer yang menyatakan bahwa Sayyidah Aisyah r.a. dan khalifah Utsman r.a. memiliki kebencian dan permusuhan. Hal ini disanggah oleh Syekh Al-Buthi dengan memaparkan beberapa penilaian dan pernyataan Sayyidah Aisyah r.a. tentang sahabat Ustman r.a.
Syekh Al-Buthi menyatakan bahwa Sayyidah Aisyah r.a. banyak meriwayatkan hadis dari
Rasulullah saw. tentang keutamaan sahabat Utsman r.a. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh
Muslim yang berasal dari Sayyidah Aisyah r.a. beliau menceritakan bagaimana Nabi saw. pada suatu ketika terlihat lebih mengutamakan sahabat Ustman r.a. dibanding dengan sahabat lain. Dan juga perkataan Sayyidah Aisyah r.a. yang menyatakan “ Allah melaknat siapa saja yang melaknat Ustman, Allah melaknat siapa saja yang melaknat Ustman”
Menurut Syekh Al-Buthi, bisa jadi perkataan yang diulang dua kali oleh Sayyidah Aisyah r.a. tersebut, terkandung penegasan untuk menolak semua pandangan yang menyatakan bahwa Sayyidah Aisyah r.a. bermusuhan dengan sahabat Ustman r.a. dan sebuah penafian tentang keterlibatan serta kontribusi Sayyidah Aisyah r.a. dalam aksi pendongkelan sahabat Ustman r.a.
Pada akhir masa Utsman r.a. ini, Syekh Al-Buthi menyatakan bahwa memang sejarah mencatat Sayyidah Aisyah r.a. kerap berbeda pendapat dengan para sahabat lain mengenai beberapa masalah ijtihad fiqih dan beberapa perkara akidah ataupun sosial. Masih menurut beliau, Al-Zarkasyi mengumpulkan perbedaan-perbedaan tersebut dalam risalahnya Al-Ijabah fima tadrakathu Aisyah ‘ala al-Shahabah”.
Syekh Al-Buthi juga menyampaikan ada riwayat yang memang menyatakan bahwa Sayyidah Aisyah r.a. pernah berbeda pendapat dengan sahabat Ustman r.a. dalam beberapa pandangan politik. Tetapi kekeliruan besar yang dilakukan oleh para penulis kontemporer menurut Syekh Al-Buthi adalah, mereka mengukur para sahabat yang mulia memakai ukuran diri pribadi mereka sendiri. Mereka beranggapan, tentu para sahabat di masa lalu juga memiliki sikap dan perilaku sosial seperti manusia modern saat ini.
“Perbedaan pandangan politik (antara Sayyidah Aisyah r.a. dan Khalifah Utsman r.a.) tidak berkembang menjadi permusuhan pribadi antara keduanya sebagaimana yang digambarkan sebagian penulis kontemporer. Jika benar ada permusuhan dan dendam pribadi, tentu Sayyidah Aisyah r.a. tidak akan menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman r.a. dan tidak akan keluar sendiri memimpin kaum Muslimin untuk menuntut hukuman qishas atas orang- orang yang terlibat dalam pembunuhan Khalifah Ustman r.a.”.
Pada awal pembahasan tentang eksistensi Sayyidah Aisyah r.a. di masa Khalifah Ali bin Abi
Thalib r.a. dan bagaimana hubungan kedua sahabat tersebut, Syekh Al-Buthi menyatakan :
“Ketika Khalifah Utsman ibn Affan r.a. terbunuh, Aisyah r.a. termasuk di antara para sahabat yang pertama kali mengajak kaum Muslimin untuk membaiat Ali r.a. Setelah itu, seiap kali ada orang yang bertanya kepadanya tentang siapakah yang paling layak dan paling berhak atas kekhalifahan setelah Utsman r.a. wafat, Aisyah r.a. selalu menyebutkan nama Ali bin Abi Thalib r.a. dan menyeru mereka berbaiat kepadanya.”
Syekh Al-Buthi juga kemudian menyampaikan riwayat seorang sahabat yaitu Al-ahnaf ibn Qais yang bertanya pada Sayyidah Aisyah r.a. siapakah yang paling layak memimpin setelah Utsman r.a.? Aisyah r.a. menjawab : “Ali bin Abi Thalib”. Syekh Al-Buthi menyampaikan
bahwa saat ini ada cukup banyak penulis dan pemerhati sejarah yang berusaha merendahkan keutamaan para sahabat yang mulia dengan cara memasukkan berbagai kisah rekaan, pendapat dan pemikiran pribadi, serta kebohongan yang memperkeruh riwayat mereka.
Ditegaskan kembali oleh Syekh Al-Buthi bahwa Aisyah r.a. memperlakukan Ali r.a. dengan penuh penghormatan sebagaimana beliau memperlakukan para khalifah sebelumnya dan sebagai sahabat yang sangat berilmu. Setiap kali ada sahabat lain yang bertanya tentang Khalifah Ali r.a. maka Sayyidah Aisyah r.a. selalu menjelaskan keutamaannya, kedudukannya yang mulia dan kedekatannya dengan Rasulullah saw.
Berdasarkan pemaparan dan penjelasan di atas, yaitu tentang tentang posisi dan kedudukan Sayyidah Aisyah r.a. di masa Khulafa’ Rasyidin, dapat dikatakan bahwa Sayyidah Aisyah r.a. merupakan Ummul Mukminin yang sangat dihormati dan diakui keunggulan dan kemampuannya dalam hal-hal keagamaan, persoalan-persoalan sosial dan bahkan politik.
Beliau menjadi rujukan dan jujukan para sahabat yang bertujuan memverifikasi suatu riwayat, meminta fatwa dan bahkan berdiskusi, sehingga beliau merupakan ulama perempuan pertama yang juga perawi perempuan terbanyak dalam meriwayatkan hadis-hadis Nabi saw. Yang akhirnya Sayyidah Aisyah r.a. menempati kedudukan yang mulia dan terhormat dalam pewarisan dan pengembangan pengetahuan setelah Rasulullah saw., yaitu mulai dari masa Khalifah Rasyidin hingga beliau wafat.
4. Perang Jamal (Perang Unta)
Pembahasan inilah yang menurut Syekh Al-Buthi paling berat, karena ini berkaitan dengan peristiwa yang membuat terkoyaknya kesatuan dan persatuan para sahabat pada masa itu. Sebuah peristiwa yang kelam dan menyedihkan yang menimpa serta membinasakan kaum Muslim.
Pada bab ini juga, terlihat jelas sudut pandang dan kerangka berfikir seorang Syekh Al-Buthi yang berbeda dengan penulis sirah lain di masa ini. Yang mana beliau menitik beratkan pemaparannya bukan pada bagaimana sengitnya pertikaian dan permusuhan para sahabat utama sehingga terjadi perang jamal, tetapi lebih kepada apa penyebab utama dan siapakah dalang dan yang bergerak aktif dari awal sehingga terjadi perang jamal. Tentu saja tanpa mengabaikan bagaimana alur dari pertama hingga akhir, peristiwa demi peristiwa disampaikan sehingga akhirnya perang ini terjadi.
Memang pada bagian ini, Syekh Al-Buthi banyak mengkritik tulisan para penulis kontemporer, mulai dari pemaparan mereka yang mencela dan mencemooh para sahabat utama sampai dengan analisis dan metode yang mereka pakai.
“Mereka menulis ratusan hingga ribuan lembar buku untuk menggambarkan konflik perselisihan yang berlangsung di antara para sahabat, melukiskan betapa banyak darah yang
tertumpah dari kalangan Muslim, serta menuturkan betapa keagungan dan kemuliaan Islam nyaris runtuh sepenuhnya akibat peperangan dan konflik di antara mereka. Alangkah lebih baik jika para penulis itu bersikap jujur dan adil untuk mengungkapkan pihak-pihak yang bermain dan terlibat dalam peristiwa itu, tidak hanya memusatkan perhatian pada keburukan dan perselisihan yang terjadi diantara para sahabat.”
Perang jamal diceritakan oleh Syekh Al-Buthi dengan cukup detail alurnya, mulai dari tentang apa yang memicu Sayyidah Aisyah r.a. untuk bergerak menyampaikan tuntutannya, siapa saja yang bersama dan mendukung beliau, hal-hal apa sajakah yang dialami Sayyidah Aisyah r.a. selama perjalanan menuju Basrah untuk menyampaikan tuntutan tersebut, bagaimana proses perdamaian dan perundingan antara pihak khalifah Ali r.a. dan pihak Sayyidah Aisyah r.a. bagaimana respon Khalifah Ali r.a. terhadap sikap Sayyidah Aisyah r.a.
Hingga siapa saja dalang perusuh dan pemfitnah yang menyusup masuk kepada kedua pihak yang sudah berdamai sehingga memicu kembali adanya peperangan padahal kedua pihak sudah benar-benar berdamai, sampai pada bagaimana sikap dan reaksi para sahabat pada Sayyidah Aisyah r.a. usai peperangan.
Beliau menghindari tindakan yang menjelekkan atau mencela para sahabat utama yang terlibat dalam perang tersebut, beliau lebih fokus pada siapa dalang perusuh dan pemfitnah yang menginginkan adanya peperangan ini, bagaimana kelicikan dan siasat-siasat yang direncanakan dan diatur oleh mereka dari awal agar peperangan ini terjadi.
Menurut beliau tindakan inilah yang seharusnya dilakukan oleh para penulis kontemporer, tetapi yang ada, mereka malah menambah kerancuan berfikir yang tidak fokus pada hal-hal penting yang harusnya menjadi pengetahuan, sehingga mengetahui hakekat dan manfaat yang seharusnya didapat.
“Para penulis itu mengulas kehidupan dan tindakan para sahabat yang mulia, tetapi tidak berusaha menganalisis dan memperdalam kajian terhadap para penyebar fitnah, para perusuh yang sebelumnya terlibat dalam pemberontakan dan pembunuhan Utsman ibn Affan, termasuk yang paling penting di antara mereka adalah Abdullah ibn Saba yang puinya julukan Ibn Sawda.”
“Lebih jauh, mereka juga mengecam dan menuduh para sahabat utama sebagai tokoh utama pemicu konflik dan perang saudara di tengah umat Islam. Namun, di saat yang sama, mereka sama sekali tidak memiliki semangat dan gairah yang sama untuk mengungkapkan, membongkar dan menganalisis peran para perusuh dan penjahat keji yang memantik api kebencian di tengah kaum Muslim, Merekalah sesungguhnya yang memantik fitnah dan malapetaka itu dengan membunuh Utsman ibn Affan dan kelak mereka menuntaskan rangkaian fitnah itu dengan membunuh Ali ibn Abu Thalib.”
Kutipan paragraf diatas yang disampaikan oleh Syekh Al-Buthi menunjukkan bahwa beliau memiliki cara dan kerangka berfikir yang berbeda dengan penulis lain, Hal ini bisa dibuktikan terutama jika kita membaca pemaparan beliau tentang perang Jamal.
Sebuah cerita dengan cara penyampaian yang lain dan sudut pandang yang berbeda, akhirnya dapat menambah rasa keimanan dan pengetahuan tanpa mencela dan menjelek-jelekkan para sahabat, sebuah tindakan dan sikap yang sesuai dengan pesan kuat dari Nabi saw. “ Berhati- hatilah dengan para sahabatku. Jangan mengecam dan mencaci mereka. Sungguh aku mencintai siapa saja yang mencintai mereka dan membenci siapa saja yang membenci mereka. Siapa saja yang menyakiti mereka berarti mereka menyakitiku.” (H.R.Tirmidzi)
5. Sayyidah Aisyah r.a. dan budaya patriarki
Pada paragraf awal di bagian ini, Syekh Al-Buthi menjelaskan bahwa Sayyidah Aisyah r.a. menjadi sosok pejuang dan pembela hak-hak kaum perempuan yang tertindas dan yang menerima ketidakadilan. Beliau menjadi perantara dan pengantar para perempuan yang ingin bertanya dan menyampaikan keluh kesahnya kepada Nabi saw. Sayyidah Aisyah r.a. juga seringkali memotivasi dan menyarankan kepada mereka agar berani bertanya sendiri langsung kepada Nabi saw.
Sebuah cerita yang diriwayatkan An-Nasa’i dari Aisyah r.a. disampaikan Syekh Al-Buthi sebagai bukti akan hal tersebut, bahwa ada seorang gadis yang dijodohkan oleh ayahnya tanpa izin dan sepengetahuan dirinya. Gadis tersebut mengadu pada Sayyidah Aisyah r.a. dan beliau memintanya agar menunggu sampai Nabi saw. datang.
Ketika Nabi saw. datang, Sayyidah Aisyah r.a. menyampaikan keluh kesah gadis itu pada Nabi saw. dan kemudian Nabi saw. memanggil ayah gadis tersebut dan menanyakan perihal perjodohan ini. Kemudian sang gadis menjelaskan pada Rasulullah saw. ”Aku menempuh cara ini dengan tujuan agar para perempuan lain mengetahui bahwa seorang ayah tidak punya hak memaksakan pasangan atau suami bagi anak perempuannya”.
Ada juga sebuah riwayat yang menunjukkan betapa Sayyidah Aisyah r.a. menentang dan menolak dengan keras siapa saja yang merendahkan dan mensubordinatkan perempuan. Beliau juga tidak segan meluruskan pendapat atau riwayat yang tidak sesuai atau salah, terutama jika berkaitan dengan sikap atau kata yang menjadikan perempuan inferior.
Dalam kitabnya Al ijabah fima istadrakathu Aisyah ala Ash-Shahabah, Al-Zarkasyi menceritakan ada seorang sahabat mengatakan bahwa shalat tidak dapat dibatalkan kecuali oleh tiga perkara yaitu : adanya anjing, keledai dan perempuan. Sayyidah Aisyah r.a. marah “ Atas dasar apa kalian menyamakan kami dengan anjing dan kedelai?”, kemudian beliau menjelaskan bagaimana Rasulullah saw. shalat malam dan sempat memindahkan posisi kaki
Sayyidah Aisyah r.a. karena melintang di depan Nabi saw ketika shalat, kemudian beliau tetap melanjutkan shalatnya.
Atau sebuah H.R.Tirmidzi dalam bab Thalaq yang menceritakan bahwa pada masa dahulu, laki-laki bisa semena-mena menceraikan istri berkali-kali, tetapi tiap kali masa iddah akan habis, ia merujuknya lagi, dan kembali menceraikannya lagi. Hal ini dilakukan seenak hati si suami berulang kali dan membuat istri tersiksa dan tersakiti karena si suami juga tidak mau menafkahi. Si istri mengadukan masalah ini pada Sayyidah Aisyah r.a. dan kemudian disampaikan oleh beliau kepada Nabi saw. hingga akhirnya turunlah ayat Q.S. Al-Baqarah :
229.
Riwayat lain dalam Musnad Ahmad disampaikan Syekh Al-Buthi, yaitu yang menuturkan bahwa Sayyidah Aisyah r.a. pernah menentang dan mengoreksi kekeliruan riwayat yang disampaikan Abu Hurairah r.a. tentang perempuan yang berbunyi : “Sesungguhnya anggapan sial ada pada perempuan, hewan ternak dan rumah”. Sayyidah Aisyah r.a. merespon dengan mengatakan : “Demi DIA yang menurunkan Al-Quran kepada Abu Al-Qasim (Nabi Muhammad saw.), ucapan beliau tidak seperti itu, sesungguhnya Nabi saw. mengatakan : “Kaum Jahiliyyah mengatakan : “Kesialan itu ada pada perempuan, hewan ternak dan rumah”.
Pada bagian akhir, Syekh Al-Buthi menyatakan bahwa Sayyidah Aisyah tidak pernah lelah dan bosan memperjuangkan kedudukan dan kehormatan kaum perempuan untuk menghilangkan budaya patriarki. Sehingga hak-hak perempuan tersampaikan, tentu saja dengan tidak melupakan kewajiban-kewajibannya sebagai perempuan. Beliau memberikan motivasi dan bantuan pada mereka, serta mengajarkan juga sekaligus menjadi uswah hasanah bagi para muslimah agar menjadi pribadi yang kuat, berani, kritis, berkeilmuan dan istiqamah pada kebaikan.
Hal-hal tersebut tersirat dan dapat kita lihat pada kutipan Syekh Al-Buthi tentang Sayyidah
Aisyah r.a. terkait beliau dan perempuan dalam menghadapi budaya patriarki :
“Para sejarawan dan penulis sirah sepakat bahwa Aisyah menjadi tempat berlindung para perempuan lemah. Mereka datang dan bersandar kepada Aisyah untuk mendapatkan hak-hak mereka dan melindungi diri mereka.”.......
“Mereka mengadukan berbagai permasalahan dan Aisyah menjadi perantara mereka kepada
Rasulullah saw. Dalam beberapa kesempatan, Aisyah memotivasi mereka agar berani menyampaikan langsung kepada Rasulullah saw.”
6. Peran ilmiah dan keunggulan literasi Sayyidah Aisyah r.a.
“.....Ada banyak ‘alim (ulama) dari kalangan Muhajirin dan Anshar yang datang menemuinya (Aisyah r.a.), termasuk para ahli fiqih, para qari’, dan para ahli riwayat untuk
bertanya dan berkonsultasi kepadanya. Dan dari perempuan mulia ini pulalah seperempat agama kita bersumber sebagaimana disampaikan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak.”
Kutipan yang disampaikan oleh Syekh Al-Buthi tersebut, menunjukkan betapa kualitas keilmuan dan keunggulan kemampuan Sayyidah Aisyah r.a. dalam berbagai disiplin keilmuan agama sudah diakui dan dikenal dari mulai kalangan sahabat utama sampai dengan para tabi’in.
Memang, peran keilmuan yang ditekuni dan dikuasai oleh Sayyidah Aisyah r.a. sudah bukan hal yang asing atau aneh bagi kalangan ahli sejarah dan ahli sirah. Hal ini disampaikan Syekh Al-Buthi dengan memaparkan beberapa pendapat dan pandangan para sahabat, tabi’in, dan ulama’ terkemuka bagaimana mereka memuji dan kagum dengan keunggulan dan keistimewaan Sayyidah Aisyah r.a. dari sisi keilmuan dan literasi beliau.
Seperti pendapat Abu Musa Al-Asy’ari dalam kitab Al-Zarkasyi yang menyatakan : “Jika kami para sahabat Rasulullah saw. menghadapi suatu masalah berkaitan dengan hadis, lalu kami menemui Aisyah dan bertanya kepadanya, kami selalu mendapatkan pengetahuan baru darinya.” Dari kalangan Tabi’in, Syekh Al-Buthi mengutip perkataan Atha’ ibn Abi Rabah : “Aisyah adalah orang yang paling faqih, paling berilmu dan pendapatnya paling baik secara umum.”
Pada bab ini, Syekh Al-Buthi banyak menyampaikan riwayat-riwayat yang disampaikan oleh sahabat lain, yang kemudian Sayyidah Aisyah r.a. mengomentari riwayat dan memverifikasi (mentashhih) pendapat atau ucapan para sahabat tersebut. Terlihat bahwa Sayyidah Aisyah r.a. memiliki pandangan dan interpretasi sendiri yang bahkan bisa berbeda dengan para sahabat, dan mereka juga merespon dengan baik, menghormati dan menerima pendapat atau pandangan Sayyidah Aisyah r.a. Sehingga hal ini menambah khazanah keilmuan Islam makin luas dan beragam.
Hadis-hadis yang dikoreksi dan diverifikasi oleh Sayyidah Aisyah r.a. misalnya saja tentang Rasulullah saw. melihat Allah swt. yang mana Sayyidah Aisyah r.a. memiliki pendapat sendiri yang berbeda dengan seluruh sahabat pada saat itu. Contoh yang lain tentang berpuasa dalam keadaan junub, tentang tangisan pada mayit, tentang aturan atau ketentuan pada orang yang berkurban di bulan Dzulhijjah, atau tentang mengikuti penguburan jenazah.
Syekh Al-Buthi juga menyampaikan sebuah riwayat dalam Musnad Imam Ahmad, juga Al- Hakim dalam Al-mustadrak, yang menunjukkan bahwa Sayyidah Aisyah r.a. tidak saja terkenal kemampuannya di bidang ilmu agama, sosial dan politik, tetapi juga ilmu pengobatan. Yang ternyata beliau dapatkan dan pelajari dari para ahli pengobatan yang berasal dari berbagai pelosok Arab yang memberikan resep pengobatan ketika Rasulullah saw. sakit di penghujung hayatnya, dan beliaulah yang meracikkan obat-obat tersebut sehingga mengetahui tentang ilmu pengobatan.
Terkait tentang kepiawaian Sayyidah Aisyah r.a. dalam berceramah ataupun berorasi, Syekh Al-Buthi menyampaikan pendapat beberapa sahabat dan tabi’in, seperti misalnya Musa Ibn Thalhah juga menyatakan “ Aku tidak pernah bertemu dengan orang yang lebih fasih daripada Aisyah”.
Syekh Al-Buthi juga menyampaikan pendapat Ahnaf ibn Qais yang menyatakan : “Aku pernah mendengar khutbah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar ibn Khattab, Ustman ibn Affan, Ali bin Abi Thalib, dan para khalifah lain hingga saat ini. Tidaklah aku mendengar ceramah seseorang yang paling jelas dan paling baik dibanding yang kudengar dari Aisyah.”
Selanjutnya Syekh Al-Buthi memberikan contoh-contoh perkataan atau ceramah Sayyidah Aisyah r.a. yang dimaksudkan agar pembaca mempunyai gambaran atau pandangan bagaimanakah keunggulan beliau dari sisi kefasihan berbahasa dan keunggulan literasi yang dikuasainya. Misalnya ceramah Sayyidah Aisyah r.a. ketika ayahnya meninggal, nasihatnya pada dua sahabat saat perang jamal, dan ucapan beliau pada hari terbunuhnya Khalifah Ustman r.a.
Dalam menggambarkan kedalaman ilmu Sayyidah Aisyah r.a., Syekh Al-Buthi juga menyampaikan ungkapan ringkas Al-Zarkasyi yang dikutip dalam muqaddimah kitabnya Al- Ijabah :
“Aku telah mempelajari selama bertahun-tahun perjalanan hidup Sayyidah Aisyah. Di dalamnya aku menemukan keajaiban yang berat untuk dituliskan dengan kalam. Aku mendapati di dalamnya keluasan pengetahuan yang menakjubkan.....”
“Kau bisa mempelajari apapun darinya ilmu yang engkau kehendaki, baik itu fiqih, hadits, tafsir, ilmu syari’at, sastra, sya’ir, akhbar, ilmu tentang silsilah nasab, kebanggan suatu kaum, kedokteran, juga sejarah. Niscaya engkau akan mendapati kedalaman pada setiap bidang ilmu yang kau pelajari darinya. Ketakjuban dan kekaguman tidak akan habis ketika kau terus mendalami dan mempelajari setiap bidang ilmu yan g ia kuasai.”
Penutup
Memang masih banyak bab atau tema yang tidak bisa semua disampaikan dalam resume ini, tetapi hal-hal yang sudah disampaikan di atas dianggap cukup representatif terhadap pemikiran dan pandangan Syekh Al-Buthi tentang bagaimana sosok Sayyidah Aisyah r.a. sebagai seorang ulama perempuan pertama sesuai dengan title pada judul buku ini.
Maka dapat disimpulkan bahwa buku ini memang berbeda dan memiliki keunggulan tersendiri, yang mampu mengungkap kompleksnya fenomena sosial yang dialami oleh Sayyidah Aisyah r.a. Begitu juga tentang perjalanan hidup dan peran Sayyidah Aisyah r.a.
yang sangat besar pengaruhnya dalam mewarnai peradaban dan perjalanan keilmuan umat Islam. Eksistensinya pun sangat signifikan bagi dinamika sosial yang ada pada tradisi dan budaya jazirah arab walau setelah wafatnya Nabi Muhammad saw.
Buku ini juga dapat memberikan gambaran sosok Sayyidah Aisyah r.a. tentang bagaimana gejolak dan dinamika pemikirannya dalam ranah sosial dan keilmuan umat Islam, begitu juga tentang bagaimana kegigihan beliau memperjuangkan eksistensi, hak-hak dan peran perempuan di tengah budaya patriarki yang masih sangat kental.
Hal-hal tersebut menjadikan Sayyidah Aisyah r.a. sebagai sosok yang mampu membentuk nilai-nilai sosial yang menghadirkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam bingkai syariat Islam. Sebuah buku tentang sejarah salah satu istri Nabi saw. yang cukup ringkas tapi bernash, dan layak untuk dijadikan tambahan pengetahuan tentang kiprah Ummul Mukminin Sayyidah Aisyah r.a.
-Istiqamah berliterasi dan semangat meresume untuk memotivasi & membenahi diri- Ajeng Indira Dewi, Sapporo Juli 2020
Mumtaz 👍👍👍👍👍
BalasHapusSangat detail dan jelas resensinya👍👍👍👍👍
BalasHapus