oleh: Akhiriyati Sundari
Tidak sedikit yang kerap melontarkan pertanyaan kepada saya secara pribadi, perihal respons saya terhadap naik layarnya Hati Suhita ke layar perak. Rata-rata yang bertanya demikian telah mengetahui bahwa saya adalah editor dari novel tersebut dan dilibatkan pula dalam proses editing naskah skenario, baik untuk film maupun serialnya. Sebenarnya ‘sejauh mana’ keterlibatan seorang editor naskah dalam konteks film Hati Suhita ini? Kira-kira demikian poin pertanyaannya.
Saya lupa persisnya kapan dimulai obrolan antara saya dan Khilma terkait film yang lalu saya dilibatkan dalam proses yang diawali dengan proofreading bersama. Yang pasti jaraknya relatif lama antara ‘penggodokan’ naskah meliputi pembacaan lalu editing dan dimulainya eksekusi di lapangan (proses syuting). Diawali dengan naskah skenario film terlebih dulu―kala itu belum kenal dan tahu siapa Alim Sudio si penulis skenario ini. Kami (saya dan Khilma) hanya fokus saja terhadap naskah skenario. Ketika naskah itu dinyatakan selesai, rupanya beberapa waktu kemudian ada ‘pembaruan’ untuk naskah film, sekaligus diserahkan pula naskah untuk produksi serialnya.
Proses membaca dan mengedit naskah terhitung tidak begitu lama dibandingkan dengan waktu ketika menggarap naskah film ini untuk pertama kalinya (kalau tidak keliru pada masa awal pandemi). Biasanya pada saat kami berdiskusi dalam format zoom, agak memakan waktu cukup lama, hingga berjam-jam. Terkadang muncul rasa lelah dan ngantuk di ujung waktu. Barangkali karena belum terbiasa. Terakhir yang saya ingat adalah bulan Juni 2022 semua pekerjaan terkait naskah skenario dinyatakan “selesai”. Lalu Agustus baru mulai eksekusi pengambilan syuting.
Lalu, apakah ada bedanya kerja editing naskah novel dan naskah skenario film?
Sekilas tampak tidak ada bedanya, lantaran ‘induk cerita’ adalah satu, yakni kisah tentang Alina Suhita (tentang proses kerja editing naskah novel itu, pernah saya tuliskan dua tahun silam, dipublikasikan pertama kali di situs sabak.or.id *). Akan tetapi, ketika ditilik ke dalam, jelas ada yang beda, baik dari segi teknis maupun alur cerita. Di dalam naskah skenario film terdapat beberapa scene atau penggambaran adegan dengan alur cerita yang ditambahi atau dikurangi. Ditambahi, bahwa di novel tidak ada, namun di film diadakan. Dikurangi, bahwa di novel ada, namun tidak disertakan ke dalam cerita film. Semuanya dilakukan semata sebagai “improvisasi” ketika mengadaptasi novel ke film dengan tujuan agar sekurangnya cerita menjadi ‘lebih hidup’ ketika diadegankan. Hanya saja tetap ada hal pakem yang tidak boleh ditanggalkan dari kisah di novel, yakni poin-poin utama, berikut logika yang sudah terbangun tegak di sana. Salah satu contohnya adalah kisah berakhir dengan happy ending.
Hal lain yang saya rasakan selama proses membaca draft skenario kemudian mengeditnya adalah dengan mencoba “hanyut ke dalam naskah”, mempraktikkan cara pengucapan dengan suara berikut gestur fisik. Bagi teman-teman pegiat teater pastinya paham dan sudah selesai pada babagan begini. Namun, bagi saya tentu saja sulit karena latar belakang saya bukan seni peran, saya hanya pembaca yang terbiasa mengindera dalam laku diam dan hening. Di sesi diskusi antara saya dan Khilma, poin-poin begini kadang cukup memakan waktu. Mencari-cari ‘ide yang pas’ untuk diletakkan ke tubuh naskah. Di sana termasuk mengoreksi gugusan kata
dan kalimat yang telah disusun oleh si penulis naskah skenario (Alim Sudio). Singkat cerita, ketika dirasa ‘cukup’, maka naskah skenario itu pun “di-lock” oleh produser. Tugas saya selesai. Pertanyaan berikutnya yang barangkali muncul adalah bagian mana saja buah pikiran saya ada di dalam naskah itu atau berapa persen? Saya tidak mengingat persisnya. Namun bagi sekalian Anda yang telah menyaksikan film itu, jika teringat dalam adegan ada anasir-anasir dari khasanah pesantren dan isu kesetaraan gender, bisa diperkirakan di situ saya ada berkontribusi. Misalnya amtsilatut tashrifiyyah (pedoman tatabahasa Arab di pondok pesantren). Memang sempat ‘menuai debat’ antara saya dan Khilma, terutama kekhawatiran jika nanti para cast-nya tidak mampu mengucapkan dengan fasih atau menyelesaikan dialog dengan baik. Saya ingat waktu itu saya menjawab, “itu tanggung jawab sutradara mengarahkan cast-nya”. Sependek pikiran saya waktu itu hanya “kapan lagi ada kesempatan membawa anasir kepesantrenan ke dalam sinema Indonesia?”. Uhukkk!
Di kesempatan tulisan ini, tentu saja saya tidak bisa membuka sekian “rahasia dapur” dari proses dan dinamika selama pembuatan film Hati Suhita. Lalu adakah catatan dari Mbak Editor sendiri terhadap film itu? Ya, tentu saja ada! Namun sebagian besar sudah masuk dalam “dinamika & dialektika” antara saya dan Khilma selama proses itu berjalan, bahkan hingga detik terakhir film itu “dibungkus” untuk kemudian disajikan ke khalayak. Dari banyak kritikan, tanggapan, dan masukan yang sempat saya baca di linimasa oleh banyak sekali netizen yang budiman, semuanya sudah lebih dulu ada dalam catatan saya. Karenanya, saya tidak kaget dengan dengungan keriuhan itu. Sejak awal saya sudah menandai bahwa pada bagian ini dan bagian itu pasti akan menuai “respons” penonton. Ya itulah dinamisasi linimasa kita bersebab tontonan publik. Tidak ada yang bisa dibendung. Saya hanya menyediakan diri sebagai optik, untuk melihat spektrum itu syukur-syukur bisa lebih luas dan jelas. Segala hal ihwal tentangnya tentu saja menjadi teropong yang bagus, khususnya bagi pihak produser dan sutradara, untuk ke depan lebih “rapi & disiplin” dalam mengerjakan sebuah karya.
Akhirul kalam dalam tulisan singkat ini saya sangat ingin menyampaikan terima kasih tidak terhingga atas riuh respons para netizen yang budiman yang telah menyaksikan film tersebut, berikut segala kritik dan masukan. Juga, saya ingin sampaikan rasa haru dalam untaian rasa terima kasih saya untuk euphoria yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya akan muncul dari para penonton di seluruh penjuru. Kekuatan koordinasi dan negosisasi terutama para perempuan di mana-mana untuk bisa “merangsek masuk ke bioskop” sungguh fenomenal, terutama dari kalangan nahdhiyyin, baik struktural maupun kultural. Bisa jadi mayoritas dari mereka baru pertama kali menyambangi bioskop. Hal ini memantik dejavu saya ketika novel HS muncul di awal-awal dulu, mereka yang membaca tidak sedikit yang mengaku baru terpantik suka membaca ketika ada novel itu. Tidak sedikit yang mengaku bahwa sebelum-sebelumnya mereka tidak pernah membaca, termasuk membaca novel. Bagaimana naskah novel itu secara berantai mereka bagi-bagikan secara suka cita dan suka rela, melalui platform apa saja yang terjangkau oleh mereka. Bahkan, hari ketika mereka menonton ke bioskop itu mereka tahbiskan sebagai “Hari Bapak-Bapak Momong Anak Sedunia”, lantaran mayoritas dari para emak itu harus meninggalkan anak-anak mereka demi untuk masuk bioskop nonton Hati Suhita. Saya terharu ketika mendengar cerita riuh dari mereka yang kebingungan “Gimana caranya ke bioskop? Gimana caranya beli tiket? Gimana caranya masuk mall yang ada bioskopnya, gimana cara parkir motor/mobil di mall? Gimana caranya ke toilet dan musala?”. Ya, itulah lanskap sosial Suhita effect yang terekam di benak saya.
Terima kasih, Khilma. Terima kasih pembaca novel Hati Suhita. Terima kasih penonton film Hati Suhita. Terima kasih, para pecinta Hati Suhita. Terima kasih, Starvision. Terima kasih seluruh tim dan crew film Hati Suhita.
Mohon maaf jika saya punya andil dengan ‘tidak berhasil menyuguhkan yang terbaik’. Mohon maaf jika saya tidak merespons apa yang tidak perlu saya respons. Sampai jumpa di sinema- sinema berikutnya. Yang belum nonton filmnya: AYO BURUAN NONTON!
Pogung Kidul Yogyakarta, 5 Juni 2023
*https://sabak.or.id/sundari/esai/bagaimana-proses-persalinan-novel-hati-suhita-bag-1/ , https://sabak.or.id/sundari/esai/ruang-baca-pembaca-hati-suhita-bag-2/ ,
https://sabak.or.id/sundari/esai/hati-suhita-penanda-kebangkitan-sastra-pesantren-bag-3- selesai/ .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar