Judul buku: Hadrah Nyai
Penulis: Raedu Basha
Jumlah halaman: 132
Penerbit: Ganding Pustaka
Genre: Sastra
Nama Peresensi: Nurul Fauziyah Jalil
Berawal dari obrolan sederhana bersama sepupuku, yang aku yakin 70%-nya adalah hal-hal absurd dan-sepertinya-unfaedah, maka 30% aku todong kemanfaatan dari sepupuku. "Ning, aku cari kitab Uyunul Masail li an-Nisa' di toko kitab kok gak ada, ya?”. Spontan sepupuku yang aku panggil Ning Uswah menjawab "Oke dik, besok aku gojekin, ya?”. Oh senangnya hatiku, akhirnya Kang Gojek datang juga dan ternyata ada 3 buku: Uyunul Masail Li an-Nisa', Sebelum Gerimis Jatuh di Kening milik Mbah Nyutz, dan Hadrah Nyai yang ditulis Raedu Basha.
Yang pertama kali kubaca tentu saja buku yang ditulis Mbah Nyutz karena bergenre novel, lha wong aku pecinta novel.
Lalu lanjut baca Uyunul Masail Li al-Nisa' sebagai bahan ajar fikih perempuan bersama mbak-mbak santri.
Aku masih belum menyentuh buku Hadrah Nyai, meski sudah di-spill Ning Uswah bahwa penulisnya, Ra Edu adalah penerima penghargaan Santri of The Year. Aku bukan penikmat puisi, maka Hadrah Nyai menjadi pilihan terakhir bacaanku. Tapi tahukah bagaimana perasaanku ketika membaca buku ini?
Di awal membaca, pada bagian prolog, Nyai Nur Rofiah sudah menuliskan tentang hatinya yang menghangat dan berdebar-debar saat membaca buku ini, bahkan sejak pada bagian pertama. Aku rasa, Nyai Nur Rofiah tidak berlebihan. Membaca Hadrah Nyai seperti membangkitkan sisi maskulinitas keperempuanku yang selama ini tertidur. Bahwa dilahirkan menjadi perempuan merupakan nikmat terbesar yang diberikan Tuhan, sebagai cagak agama dan negara, sebagai istri dan ibu yang menjadi jantung rumah tangga.
Ra Edu membuka puisinya tentang perjuangan dakwah Nabi, yang tidak lepas dari peran istrinya, Sayyidah Khadijah, lalu disusul kisah sejarah perempuan pembangun peradaban Islam Nusantara, Fatimah Binti Maimun. Tersaji pula puisi-puisi indah yang menceritakan perempuan/perempuan hebat.
Nyai Walidah Dahlan, Nyai Dlomroh, Nyai Khoiriyah Hasyim, Nyai Sofihah Jember dan ulama-ulama perempuan lainnya.
Membaca Hadrah Nyai sungguh membuatku tidak berhenti meneteskan air mata.
“Jika saja seorang lelaki adalah pemimpin, maka perempuan adalah pondasi kepemimpinannya”
Merujuk pada syair Ra Edu:
“Namun bagi bangsa Indonesia
Mengapa engkau menjadi tanya
Tentang mengapa ada perempuan gagah
Di saat banyak laki-laki merasa dominan
Tapi sebenarnya lemah?"
Perempuan, yang seringkali dianggap lemah, seringkali diultimatum harus ada di belakang, nyatanya perempuanlah pemeran utamanya.
Iya, bahwa pepatah Arab المرءة عماد البلاد sungguh sangat benar adanya, sebuah peradaban tidak akan terbangun tanpa tirakat perempuan.
"Wanita adalah cagak agama negara
Oleh karenanya bangun jiwa raga perempuan
Tiang kuat bernama ketegaran
Luas dunia berpondasi padanya
Dan segalanya bergantung
Pada batinnya yang baja"
Ternyata buku ini sangat indah, syairnya tak luput dari nilai-nilai tasawwuf, tak terasa, pipiku pun basah membaca bait demi baitnya. Bukan kisah yang dinarasikan dengan deskripsi layaknya buku sejarah. Namun, lewat kitab syair ini, kita mengenal nama-nama masyhur ulama' perempuan, para pembangun peradaban Islam yang setia menjadi penopang bagi suami yang juga seorang ulama', sehingga lahirlah generasi rabbani yang menggaungkan dakwah Islam ke seluruh pelosok negeri.
Terakhir, bagi para perempuan yang tidak menggandrungi puisi macam aku, cobalah membaca Hadrah Nyai, niscaya akan kau lahap habis buku ini hanya dalam satu kali duduk, sebagaimana yang kulakukan. Di akhir halaman Ra Edu menulis, “Sampai jumpa di halaman pertama". Iya, aku kembali membaca dan mengkhatamkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar